Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bertemu Kemenhub, Pengemudi Ojol Desak Potongan Platform Jadi 10%

Pengemudi Ojol desak Kemenhub turunkan potongan platform jadi 10% demi pendapatan layak dan hak pekerja.
Pengemudi ojek online (ojol) menggelar unjuk rasa di kawasan bundaran Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pengemudi ojek online (ojol) menggelar unjuk rasa di kawasan bundaran Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha
Ringkasan Berita
  • Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak Kementerian Perhubungan untuk menurunkan potongan platform dari 20-30% menjadi 10% guna meningkatkan pendapatan pengemudi.
  • Ketua SPAI, Lily Pujiati, menekankan pentingnya memperhatikan hak asasi manusia dalam kondisi kerja pengemudi ojol, termasuk upah layak dan jaminan sosial.
  • SPAI juga menuntut Kemenhub untuk menerapkan partisipasi yang bermakna dalam kebijakan dan melibatkan komunitas ojol secara adil dalam diskusi kebijakan.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA— Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menurunkan potongan platform menjadi 10%, alih-alih hanya menaikkan tarif.

Ketua SPAI Lily Pujiati kembali menyampaikan desakan itu dalam focus group discussion (FGD) bertajuk "Transportasi Online yang Adil dan Berkelanjutan" yang diselenggarakan Kemenhub pada Jumat, 25 (7/2025).

Dalam forum tersebut, Lily menekankan kondisi kerja pengemudi ojek online (Ojol), taksi online (Taksol), dan kurir harus dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM), agar hak-hak dasar para pekerja platform terjamin.

“Seperti upah minimum [UMP] jam kerja 8 jam, upah lembur, waktu istirahat, THR [tunjangan hari raya], cuti haid dan melahirkan, jaminan sosial, hak membentuk serikat pekerja, hak perundingan bersama agar pengemudi dapat membela diri dari sanksi suspend atau putus mitra sepihak,” kata Lily dalam keterangan resmi pada Jumat (25/7/2025). 

Lily juga mendesak agar akar permasalahan yang bersumber dari model hubungan kemitraan yang tidak memanusiakan para pengemudi segera dibongkar.

Hubungan semacam ini sebelumnya telah dikritisi oleh Kementerian Hak Asasi Manusia karena dinilai sarat ketimpangan mulai dari potongan platform sebesar 20–30% yang dianggap tidak adil, upah yang tak layak, ketiadaan jaminan sosial, hingga praktik penghindaran tanggung jawab perusahaan sebagai pemberi kerja.

“Atas dasar itu, Kementerian HAM menyatakan bahwa hubungan kemitraan tersebut tidak bisa dilanjutkan,” kata Lily.

Dalam FGD tersebut, pakar transportasi Darmaningtyas juga menyoroti rendahnya pendapatan dan panjangnya jam kerja pengemudi.

Berdasarkan temuan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) tahun 2024, pengemudi ojol rata-rata bekerja selama 14,9 jam per hari hanya untuk mengantongi pendapatan kotor sebesar Rp95.000.

“Ini jelas jauh melampaui standar jam kerja yang seharusnya maksimal 8 jam per hari,” tambah Lily.

Begitu pula dalam periode kerja selama satu minggu, seorang pengemudi tercatat bekerja hingga 104,6 jam dengan pendapatan hanya sebesar Rp667.000. Artinya, pengemudi terpaksa bekerja sekitar 2,5 kali lebih lama dari jam kerja normal yang seharusnya hanya 40 jam per minggu.

Lily juga mengutip pernyataan dari Tulus Abadi dari Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) yang menyebutkan menurunkan potongan platform dapat secara langsung meningkatkan pendapatan pengemudi dan menurunkan tarif untuk konsumen.

“Hal ini bisa dilihat dari simulasi potongan platform 20%, pengemudi hanya memperoleh pendapatan Rp115.000.  Namun bila potongan platform diturunkan menjadi 10%, maka pendapatan pengemudi akan meningkat sebesar Rp129.375,” katanya. 

Dari sisi konsumen, penurunan potongan platform juga berdampak pada efisiensi biaya. Dengan potongan 20%, konsumen dikenai tarif sebesar Rp17.969, namun bila potongan turun menjadi 10%, tarif menjadi lebih rendah, yakni Rp15.938—selisih sekitar Rp2.000.

“Berdasarkan hasil FGD tersebut, kami mendesak Kementerian Perhubungan untuk menurunkan potongan platform dari 20% menjadi 10%, serta menghapus ketentuan hubungan kemitraan dari Pasal 15 dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019,” kata Lily.

Tidak hanya sampai di situ, Lily menyampaikan pihaknya juga menuntut Kemenhub untuk menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna (Meaningful Participation) dalam melakukan penyerapan aspirasi dalam membuat kebijakan.  

“Karena kami mencermati adanya diskriminasi dalam melibatkan organisasi ojol dalam FGD tersebut,” katanya. 

Lily melihat sebagian besar undangan yang hadir dari organisasi ojol adalah yang berpihak pada status quo potongan platform tetap 20%.

Selain itu, lanjut dia, ketika komunitas dan serikat pekerja ojol lainnya yang ingin berpartisipasi dalam FGD tersebut mendapat penolakan dari Kemenhub hanya karena alasan tidak ada dalam daftar undangan.

“Untuk itu kami mendesak Kementerian Perhubungan untuk melibatkan komunitas dan serikat pekerja ojol secara adil dan berimbang tanpa berpihak pada kepentingan perusahaan platform,” tandasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Kahfi
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro