Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyarankan agar tarif bea masuk antidumping (BMAD) untuk produk polyester oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY) dari China minimal 20%.
Usulan tarif tersebut masih lebih rendah dibandingkan hasil rekomendasi awal dari Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) yang menyarankan tarif BMAD bervariasi, dengan batas atas mencapai 42,3%.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, BMAD sebesar 20% merupakan titik keseimbangan yang ideal dan cukup untuk memulihkan industri hulu. Namun, tetap mempertimbangkan beban yang mungkin ditanggung sektor hilir.
“Dengan harga dumping seperti ini produsen dalam negeri tidak bisa bersaing hingga beberapa menutup pabriknya dan mengurangi produksinya,” ujar Redma kepada Bisnis, Senin (16/6/2025).
Dia menerangkan untuk harga impor POY dari China yang dijual di pasar Indonesia pada 2024 rata-rata US$1,02 per kg. Padahal, produsen China menjual di pasar domestik China dengan harga rata-rata US$1,22 per kg.
Sementara itu, untuk harga DTY impor dari China yang dijual di Indonesia pada 2024 rata-rata dijual US$1,51 per kg, sedangkan dijual di pasar domestik China rata-rata US$1,81 per kg.
Baca Juga
“Maka kita minta pemerintah menjaga fairness competition melalui mekanisme BMAD yang memang diperbolehkan oleh WTO,” ujarnya.
Dia menerangkan bahwa praktik dumping oleh produsen luar negeri telah menciptakan distorsi harga di pasar domestik yang sangat merugikan produsen dalam negeri, khususnya di sektor benang filamen dan industri polimer.
“Harga normal itu ada di kisaran 20% di atas harga dumping. Kalau lebih tinggi dari itu, memang produsen hulu punya ruang untuk margin lebih besar, tapi berisiko membebani industri hilir. Kita perlu titik tengah yang sehat dan berkelanjutan,” tuturnya.
Praktik dumping benang filamen, menurut Redma, tidak hanya merugikan produsen langsung, tetapi juga memicu efek domino terhadap seluruh rantai industri tekstil.
Salah satu dampak paling terasa adalah menurunnya permintaan benang pintal karena benang filamen impor mengambil porsi pasar yang sebelumnya dimiliki oleh produk dalam negeri.
“Benang filamen impor ini menyerap pasar benang pintal dalam negeri. Akibatnya, industri pemintalan ikut terpukul dan karena mereka tidak menyerap bahan baku, industri polimer juga ikut kena dampaknya,” imbuhnya.
Redma mencontohkan bahwa beberapa perusahaan besar, seperti Polichem, Polifyn, dan APF telah menutup lini produksi polimer mereka akibat anjloknya permintaan.
Saat ini, hanya sekitar empat perusahaan yang masih memproduksi polimer untuk kebutuhan dalam negeri dan itu pun dalam kondisi terbatas.
APSyFI berharap bahwa dengan penetapan BMAD 20% industri tekstil dari sektor hulu seperti produksi polimer, benang filamen, dan benang pintal hingga sektor hilir seperti kain dan produk jadi, bisa kembali bangkit dan bersaing secara sehat di pasar domestik.
"Tujuan utama dari kebijakan anti-dumping ini adalah mengembalikan ekosistem industri ke kondisi normal. Bukan hanya untuk menyelamatkan benang filamen, tapi juga pemintalan dan polimer. Ini soal keberlangsungan industri nasional,” tuturnya.
Tak hanya itu, Redma juga menyoroti pentingnya perlindungan pada sektor hulu lainnya, khususnya purified terephthalic acid (PTA) sebagai bahan baku utama serat sintetis. Jika bahan baku masih dibiarkan bebas masuk dengan harga dumping, maka seluruh rantai industri tetap terancam.
“PTA juga harus diberi proteksi. Kalau hulunya lepas, ya tetap saja kita nggak bisa bersaing. Minimal bea masuk tetap atau BMAD juga diberlakukan untuk PTA,” pungkasnya.