Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

China Perpanjang BMAD Baja Nirkarat RI, Harga Nikel Bakal Terseok

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mencemaskan kebijakan BMAD baja nirkarat oleh China dapat menekan harga bijih nikel.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mencemaskan kebijakan China yang menerapkan tambahan biaya masuk terhadap produk baja nirkarat asal Indonesia. Hal tersebut dinilai dapat menekan harga bijih nikel. 

Adapun, China resmi memperpanjang bea masuk anti-dumping (BMAD) sebesar 20,2% terhadap produk stainless steel billet dan hot-rolled plates asal Indonesia, bersama produk serupa dari Uni Eropa, Inggris, dan Korea Selatan. Kebijakan ini berlaku selama 5 tahun ke depan, mulai 1 Juli 2025 hingga 2030.

Dewan Pembina APNI Djoko Widajatno mengatakan, tekanan tak hanya ke pengusaha baja nirkarat, tetapi juga akan merembet ke sektor hulu yang disebabkan menurunnya permintaan bijih nikel saprolit sebagai bahan baku.

“Pada akhirnya bisa menekan harga jual dan penerimaan negara bukan pajak [PNBP],” kata Djoko kepada Bisnis, Jumat (11/7/2025). 

Kendati demikian, dia tak memberikan potensi penurunan harga nikel akibat kebijakan tersebut. Namun, hal ini dirasa memberatkan di tengah beban biaya produksi yang sedang meningkat. 

Tak hanya itu, dia pun mengkhawatirkan terjadinya risiko overkapasitas dan stagnasi pada smelter pirometalurgi yang terpusat di kawasan industri seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Maluku Utara. 

Adapun, stainless steel merupakan produk turunan dari NPI yang merupakan produk hasil pabrik rotary kiln electric furnace (RKEF). Saat ini, smelter tersebut banyak beroperasi di Kawasan Industri IMIP, IWIP, serta beberapa kawasan industri lainnya.

Di samping itu, Djoko menyoroti adanya potensi pergeseran investasi ke sektor hidrometalurgi yang berkaitan dengan industri baterai sehingga memunculkan ketimpangan dalam pengembangan hilirisasi nikel. 

“Dalam jangka panjang, ketergantungan ekspor terhadap pasar tunggal dan produk mentah bisa menghilangkan peluang untuk diversifikasi produk dan pasar,” jelasnya. 

Bagi eksportir Indonesia, keputusan ini menjadi pukulan telak. Tarif tambahan sebesar 20,2% membuat harga produk stainless steel Indonesia tidak lagi kompetitif di pasar China, yang selama ini menjadi salah satu tujuan utama ekspor.

Kondisi ini mendorong perusahaan Indonesia untuk mulai mencari pasar alternatif, seperti Jepang, India, Amerika Serikat, dan Eropa. 

Namun, pengalihan pasar disebut tidak bisa dilakukan dengan mudah karena memerlukan penyesuaian mutu produk, sertifikasi internasional, serta adaptasi terhadap regulasi dan standar yang berbeda di masing-masing negara tujuan.

Di sisi lain, kebijakan ini juga menambah tekanan terhadap sektor hilirisasi dalam negeri. Untuk bertahan dari proteksionisme global, industri dalam negeri perlu segera mendorong pengembangan produk stainless steel bernilai tambah tinggi. 

“Ini termasuk produk cold-rolled dan coated products, serta produk akhir seperti pipa baja tahan karat, layanan teknik, hingga campuran logam khusus [premix alloys],” jelasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper