Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyayangkan sikap ragu pemerintah untuk melindungi industri hulu tekstil yang utilitas produksinya menurun karena digempur produk impor murah dari China.
Ketua Umum APSyFI Redma G. Wirawasta mengatakan keraguan ini terlihat dari penerapan bea masuk antidumping (BMAD) atas impor benang filamen polyester yaitu partially oriented yarn-drawn textured yarn (POY-DTY) asal China yang terbukt merugikan produsen.
"Namun sayangnya pemerintah tidak mengerti apa itu arti fairness competition sehingga selalu gamang dalam menerapkan BMAD," kata Rntedma kepada Bisnis, Senin (17/6/2025).
Terlebih, hasil investigasi Komite Antidumping Indonesia (KADI) juga telah memberikan laporan terkait dampak kerugian dan rekomendasi pengenaan tarif BMAD dengan batas maksimal 42%.
Redma menegaskan bahwa KADI telah melakukan penyidikan dengan bukti-bukti akurat sesuai dengan PP 34/2011 dan peraturan di WTO. Namun, menurut dia, hasil temuan KADI tak kunjung digubris dan dengan mudah dipatahkan oleh pendapat-pendapat yang berupa asumsi-asumsi terutama atas masukan dari importir.
"Disini kita jadi semakin yakin bahwa pemerintah tidak punya visi industri yang jelas. Jangankan melindungi industri dari gemuran impor, menciptakan fairness competition saja tidak mampu," ujar Redma.
Baca Juga
Adapun, akibat praktik dumping China atas produk tersebut, setidaknya empat perusahaan anggota APSyFI terimbas praktik dumping tersebut. Perinciannya, satu perusahaan tutup permanen, satu perusahaan tutup sementara, dan dua perusahaan hanya mengoperasikan 40% fasilitas produksinya.
Menurutnya, tiga dari empat perusahaan ini rencananya akan kembali menjalankan secara penuh lini produksinya, ditambah satu perusahaan relokasi asal China akan berinvestasi mendirikan lini produksi polyester.
Namun, perusahaan-perusahaan tersebut masih menunggu kepastian penerapan kebijakan bea masuk antidumping (BMAD) guna mencegah kerugian.
"Tapi reaktivasi tiga perusahaan dan satu perusahaan baru dengan total investasi sekitar US$250 juta ini masih menunggu kepastian pemberlakuan BMAD," tambanya.
Dia menjelaskan, dengan reaktivasi tiga perusahaan ini, akan ada tambahan produksi POY sebesar 200.000 ton. Dengan begitu, kebutuhan POY dalam negeri akan tercukupi. Oleh karena itu, dia optimistis impor POY yang tahun lalu mencapai 140.000 ton, bisa dipasok produk lokal.
Tak hanya itu, Redma juga menyoroti pentingnya perlindungan pada sektor hulu lainnya, khususnya Purified Terephthalic Acid (PTA) sebagai bahan baku utama serat sintetis. Dia menerangkan bahwa apabila bahan baku dibiarkan bebas masuk dengan harga dumping, maka seluruh rantai industri tetap terancam.
“PTA juga harus diberi proteksi. Kalau hulunya lepas, ya tetap saja kita nggak bisa bersaing. Minimal, bea masuk tetap atau BMAD juga diberlakukan untuk PTA,” tambahnya.