Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jejak China di Industri Panel Surya RI & Tudingan Dumping AS

Produk panel surya Indonesia terancam dikenai tarif tinggi oleh AS karena tudingan dumping. Hal ini tak lepas dari manuver produsen surya China di Tanah Air.
Denis Riantiza Meilanova, Afiffah Rahmah Nurdifa
Senin, 28 Juli 2025 | 07:35
Teknisi melakukan pemeriksaan panel surya di gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa (9/7/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha
Teknisi melakukan pemeriksaan panel surya di gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa (9/7/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Produk panel surya Indonesia terancam dikenai tarif impor tinggi oleh Amerika Serikat (AS) seiring tudingan praktik dumping yang dilayangkan sejumlah perusahaan Negeri Paman Sam. Tudingan ini tak lepas dari gencarnya aktivitas manufaktur terafiliasi perusahaan China di Tanah Air.

Pada pertengahan Juli 2025, Aliansi Manufaktur dan Perdagangan Solar Amerika, yang mencakup perusahaan-perusahaan seperti Tempe, First Solar, Qcells, Hwanha dan Talon PV, mengajukan gugatan perdagangan terhadap Indonesia, India, dan Laos. Mereka menuding perusahaan-perusahaan China, yang menghadapi tarif tinggi dari AS, membanjiri pasar AS dengan produk-produk murah yang diproduksi di tiga negara tersebut. Hal ini mendorong Komisi Perdagangan Internasional AS (USITC) untuk memulai penyelidikan terhadap tuduhan dumping dan subsidi.

Melansir Bloomberg, Senin (28/7/2025), dalam beberapa bulan terakhir, Batam telah menjadi titik transit penting dalam pergerakan rantai pasok manufaktur panel surya China.

Menurut analisis Bloomberg News terhadap data perdagangan dan catatan korporasi, 10 eksportir terbesar sel surya dan panel surya Indonesia mengekspor produk senilai US$608 juta ke AS selama paruh pertama 2025. Dari jumlah tersebut, Bloomberg News mengidentifikasi enam perusahaan di Batam yang menurut catatan perusahaan, dimiliki secara langsung oleh eksekutif dari perusahaan surya China. Perusahaan-perusahaan ini menyumbang hampir 70% dari total ekspor ke AS.

Data 10 eksportir panel surya Indonesia terbesar ke Amerika Serikat/Bloomberg
Data 10 eksportir panel surya Indonesia terbesar ke Amerika Serikat/Bloomberg

Beberapa perusahaan surya China terbesar telah beroperasi di Batam dalam 2 tahun terakhir, memproduksi panel surya langsung untuk pasar AS. Menurut data bea cukai AS, Indonesia mengekspor produk panel surya senilai total US$733 juta antara Januari-Mei 2025. Angka ini meningkat 350% dibandingkan tahun lalu.

Salah satu contohnya, PT Rec Solar Energy Indonesia, yang kini menjadi eksportir panel surya terbesar ke AS di Indonesia. Perusahaan ini mengirimkan panel surya senilai US$219 juta ke AS pada paruh pertama 2025 — yang mencakup hampir seluruh produksinya. Perusahaan ini mulai mengekspor dari Batam pada 2023, berdasarkan informasi dari induk perusahaannya, NE Solar, sebuah perusahaan Kamboja yang didirikan pada 2022, menurut situs web mereka.

Jika ditelusuri lebih dalam, data dari registrasi perusahaan di Kamboja menunjukkan bahwa direktur NE Solar sebelumnya adalah Huang Yunfei, yang juga merupakan pemilik pabrik manufaktur China bernama Huzhou Zhongdian Solar. Data merek dagang AS dan Kanada menunjukkan bahwa Huzhou Zhongdian Solar memegang merek dagang “NE Solar”, sementara NE Solar Kamboja memegang merek dagang tersebut di negara tersebut. Direktur NE Solar saat ini adalah Cheng Shen, dan berdasarkan alamat kantornya dalam registrasi perusahaan di Kamboja, lokasinya hanya 4 kilometer dari Huzhou Zhongdian Solar di China.'

Keterkaitan tersebut tidak berhenti di situ. Pada paruh pertama 2025, PT Rec mengimpor 91% bahan baku produksinya, senilai US$92 juta, dari Huzhou Paluo Yunpeng New Materials, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh pemilik yang sama dengan Huzhou Zhongdian, menurut catatan bisnis China. Dengan kata lain, pabriknya mungkin berada di Indonesia, tetapi rantai pasokan dan kendali tampaknya sepenuhnya berada di bawah China.

Data dari registrasi perusahaan di Indonesia dan China juga mencantumkan nama direktur perusahaan atau anak perusahaan surya China sebagai beneficial owners dari lima perusahaan lain yang berbasis di Batam, yakni PT Nusa Solar Indonesia, PT Blue Sky Solar Indonesia, PT Allianz Solar Indonesia, PT Thornova Solar Indonesia, dan PT Msun Solar Indonesia.

Bersama-sama, enam perusahaan milik China tersebut mengekspor sel surya dan panel surya senilai US$419 juta secara langsung ke AS pada paruh pertama tahun ini, naik 148% dibandingkan tahun lalu.

Bloomberg mencoba mengonfirmasi informasi tersebut ke pihak yang bersangkutan, tetapi tidak mendapat respons.

Peningkatan ekspor panel surya ke AS tidak hanya terjadi dari Indonesia. Di Laos, yang juga terhindar dari keputusan tarif AS, ekspor panel surya melonjak dari hampir nol pada awal 2024 menjadi US$717 juta pada 5 bulan pertama tahun ini, menurut data perdagangan AS. India meningkat dari US$10 juta pada 2022 menjadi US$345 juta tahun ini.

Ini bukan kali pertama China bermanuver dalam menghadapi hambatan perdagangan. Ketika negara-negara Barat memberlakukan tarif pada produk surya China lebih dari 1 dekade lalu, produsen China hanya memindahkan produksi ke Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Strategi ini berhasil. Ekspor Asia Tenggara, seringkali disamarkan sebagai produk China, mengalir ke AS tanpa tarif selama bertahun-tahun.

Pada 2024, kawasan tersebut menjadi eksportir surya terbesar ke AS. Kemudian, AS bergerak untuk menutup celah tersebut. Departemen Perdagangan AS di bawah Presiden Joe Biden meluncurkan penyelidikan anti-dumping dan anti-subsidi terhadap Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Penyelidikan yang berlangsung selama setahun menemukan bahwa produsen-produsen tersebut menjual ekspor murah ke pasar AS dengan harga di bawah biaya produksi. Kemudian pada April, di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, keempat negara Asia Tenggara tersebut dikenakan tarif sebesar 3,521%.

Tarif yang diberlakukan pada April tersebut memaksa pembeli AS untuk mengalihkan sumber pasokannya. Indonesia, yang tidak terkena dampak tarif tersebut, muncul sebagai salah satu pemenang terbesar. Batam, yang selama ini menjadi destinasi populer untuk liburan golf murah dan tempat pelarian akhir pekan bagi warga Singapura, kini menjadi tempat tujuan modal China dan ambisi energi surya.

“Seiring dengan meningkatnya pengawasan terhadap yurisdiksi lain di Asia Tenggara, pabrik-pabrik terus berpindah secara diam-diam,” kata Niclas D. Weimar, chief technology officer di Sinovoltaics, sebuah firma kepatuhan dan jaminan kualitas untuk industri surya yang berbasis di Belanda dan Jerman.

Jika penyelidikan Komisi Perdagangan Internasional AS (USITC) terhadap Indonesia, Laos, dan India menyimpulkan adanya praktik perdagangan yang tidak adil, putaran baru tarif bea masuk dapat segera diberlakukan.

“Di bawah Presiden Trump, Amerika Serikat tidak lagi menjadi tempat pembuangan barang impor murah yang merugikan industri dan pekerja kami,” kata Juru Bicara Gedung Putih Kush Desai. “Sementara Departemen Perdagangan melakukan penyelidikan anti-dumping terhadap panel surya, pemerintah sedang memantau dengan ketat praktik transshipment dan metode lain yang merugikan kebijakan tarif kami.”

Pemerintahan Trump belum merilis definisi detail mengenai apa yang dimaksud dengan praktik transshipment. Masih belum jelas juga apakah perusahaan-perusahaan panel surya milik China yang berbasis di Batam ini memang sengaja mengalihkan produk mereka melalui Indonesia untuk menghindari tarif AS yang tinggi — yang secara efektif telah menghalangi akses langsung perusahaan China ke pasar AS yang menguntungkan — atau apakah perusahaan-perusahaan tersebut benar-benar memproduksi produk panel surya di Batam agar bisa dianggap sebagai produk asal Indonesia.

Badan Pengusahaan (BP) Batam menyatakan bahwa hingga saat ini, belum menerima konfirmasi mengenai dimulainya penyelidikan anti-dumping terhadap produk panel surya dari Batam. BP Batam menyatakan bahwa pihaknya bekerja sama erat dengan pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung perdagangan internasional yang adil dan transparan.

“Sejauh ini, negara-negara mitra telah mengakui dan menghargai peran pemerintah Indonesia, BP Batam, dan pemerintah Kota Batam dalam mengelola dinamika perdagangan global secara bertanggung jawab,” ujar BP Batam menanggapi pertanyaan Bloomberg News.

Minta Dukungan Pemerintah

Sementara itu, Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi) mengaku prihatin atas tudingan AS terkait praktik dumping produk panel surya oleh Indonesia.

Ketua Umum Apamsi I Made Sandika Dwiantara mengatakan, jika terbukti ada praktik dumping atau menjual dengan harga jual ekspor di bawah harga pasar, maka dia menilai industri photovoltaic (PV) lokal akan dirugikan. 

“Kami terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan agar hal ini tidak terjadi untuk Indonesia karena Indonesia akan sangat dirugikan,” kata Made kepada Bisnis, pekan lalu.

Selama ini, dia melihat pabrikan lokal terus berupaya mengembangkan ekosistem industri panel surya dalam negeri dengan membangun fasilitas manufaktur, menyerap sumber daya lokal dan tenaga kerja lokal hingga mendorong perputaran ekonomi. 

Untuk itu, pengusaha meminta pemerintah untuk ikut menyelidiki dengan teliti apa yang terjadi di lapangan, khususnya sektor panel surya ini. Pasalnya, dia melihat justru banyak produk yang merupakan barang transshipment. 

“Karena bila ternyata ada banyak klaim ‘Made in Indonesia’ tetapi sebenarnya bisa jadi hal tersebut hanya modus dagang saja. Semoga pemerintah bisa benar-benar melindungi industri ini,” jelasnya. 

Di samping itu, Made menerangkan bahwa pasar AS adalah pasar yang potensial. Pangsa pasar ekspor ke negara tersebut banyak membantu penyerapan produksi dari pabrikan lokal Indonesia. 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor panel surya atau photovoltaic cells assembled in modules or made up into panels dengan kode HS 85414300 ke Amerika Serikat tercatat tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2021, ekspor panel surya Indonesia ke AS hanya bernilai US$19,88 juta. Nilai tersebut melesat menjadi US$164,18 juta pada 2022, kemudian US$222,57 juta pada 2023 dan US$553,44 juta sepanjang 2024. Adapun, untuk periode Januari–Mei 2025, total ekspor panel surya ke AS bernilai US$433,08 juta.

“Bila kebijakan dumping ini dikenakan, maka akan sangat merugikan pabrikan yang market-nya mengandalkan ekspor ke AS, di tengah ketidakpastian demand dalam negeri yang lesu karena banjirnya produk dari China,” jelasnya. 

Sebelumnya, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Reza Pahlevi mengaku telah menerima informasi terkait pengajuan petisi untuk penyelidikan antidumping (AD) dan countervailing duty (CVD) terhadap produk panel surya Indonesia tersebut.

Dia menjelaskan bahwa pengajuan petisi ini merupakan tahap awal dan masih akan dievaluasi oleh USDOC. Departemen Perdagangan AS merupakan otoritas yang memutuskan apakah petisi tersebut memenuhi persyaratan formal terkait legalitas petisioner dan persyaratan substantif mengenai bukti awal dari tuduhan AD/CVD tersebut. USDOC memiliki waktu kurang lebih 20 hari untuk memberikan keputusan.

“Jika disetujui, maka proses investigasi akan segera dimulai. Pemerintah Indonesia dan para pelaku usaha diberikan kesempatan memberikan klarifikasi serta pembelaan dalam kasus AD/CVD ini,” kata Reza dalam jawaban tertulis kepada Bisnis, Jumat (18/7/2025).

Reza mengemukakan bahwa Indonesia sangat menghormati mekanisme pengamanan dagang (trade remedies) di AS, mengingat posisinya sebagai mitra dagang penting Indonesia. Kementerian Perdagangan juga mendorong agar semua proses ini dilakukan secara transparan, adil, objektif, dan berdasarkan data serta informasi yang sesuai.

“Kami akan terus berkoordinasi dengan eksportir terkait, asosiasi, perwakilan perdagangan Indonesia di AS, serta kementerian/lembaga terkait untuk mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam melindungi kepentingan Indonesia termasuk memastikan ekspor ke AS tetap berjalan lancar,” papar Reza.

Amerika Serikat memang merupakan salah satu destinasi ekspor panel surya Indonesia. Namun, Reza mengatakan pangsa Indonesia di AS relatif kecil dibandingkan dengan negara lain.

“Kementerian Perdagangan akan terus memantau perkembangan kasus AD/CVD ini dan tentu akan menyampaikan informasi lebih lanjut apabila sudah ada keputusan resmi dari USDOC,” tutup Reza. (Iim Fathimah Timorria)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro