Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bisnis Perhotelan Rentan Karena Tak Punya Cetak Biru Perencanaan

Ketiadaan cetak biru pengembangan bisnis akomodasi dinilai sebagai penyebab industri perhotelan tumbuh rapuh.
Petugas merapihkan kamar di salah satu hotel yang ada di Jakarta. Arief Hermawan P
Petugas merapihkan kamar di salah satu hotel yang ada di Jakarta. Arief Hermawan P

Bisnis.com,JAKARTA- Ketiadaan cetak biru pengembangan bisnis akomodasi menyebabkan industri perhotelan tumbuh rapuh.

Kerapuhan itu tampak ketika pemerintah melakukan efisiensi anggaran dengan memangkas anggaran rapat dan perjalanan dinas, yang biasanya diselenggarakan atau bermuara pada tingkat okupansi hotel. Akibatnya, pendapatan sektor perhotelan anjlok dan berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran mengatakan bahwa, pembangunan pariwisata membutuhkan orkestrator yakni pemerintah, baik di skala pusat maupun daerah.

“Dengan adanya orkestrator itu sekarang pertanyaannya apakah setiap pergantian kepemimpinan itu programnya belum tentu sama. Hal ini bisa dilihat di sektor pariwisata di mana nomenklaturnya terus berubah. Jadi tidak pernah pariwisata itu diseriusi dalam pembangunannya,” ujarnya dalam program Broadcast, di kanal youtube Bisniscom, dikutip Selasa (17/6/2025).

Hal ini menurutnya, menandakan pariwisata di Indonesia tidak benar-benar menjadi sesuatu yang pokok. Padahal paparnya, di berbagai negara sekarang sudah membuka diri untuk mendorong pariwisatanya, salah satunya adalah Arab Saudi, negara penghasil minyak yang sekarang fokus pada dunia pariwisata.

Karena itu, menurutnya, nomenklatur yang selalu berubah-berubah dan menggambarkan pariwisata tidak menjadi fokus pemerintah, diebabkan Indonesia tidak memiliki cetak biru pengembangan pariwisata.

Dia melanjutkan, sebenarnya, dalam Undang-undang (UU) Nomor 10/2009, ada rencana induk pembangunan pariwisata nasional dan rencana induk pariwisata daerah. Akan tetapi, hal-hal itu tidak pernah dijadikan rujukan. Jika rencana induk itu senantiasa dijadikan rujukan, tentu pariwisata akan berkelanjutan, walaupun terjadi pergantian kepala negara maupun daerah.

 “Setiap pergantian kepala negara, kepala daerah Ini pasti diikuti terus dan terus akan sustain karena pariwisata itu harus berkesinambungan.  Akhirnya, yang terjadi adalah bahwa pembangunan sektor pariwisata khususnya diakomodasi itu mengikuti program pemerintah,” tambahnya.

Ikut Program Pemerintah

Maulana Yusran mengatakan para pelaku usaha akomodasi senantiasa mengekori apa yang menjadi program pemerintah. Salah satu contoh nyata adalah di Mandalika, yang pada era kepemimpinan Joko Widodo, dijadikan destinasi wisata super prioritas.

Di daerah super prioritas itu, tuturnya, pemerintah mendorong pelaku usaha membangun sarana akomodasi untuk mendukung perhelatan balap motor.

Dia melanjutkan, setelah event balap motor berlalu, tentunya harus ada aktivitas yang berkesinambungan di daerah itu sehingga tingkat hunian hotel pun turut terkeret. Akan tetapi, setelah terjadi pergantian pemerintahan, terjadi perubahan prioritas sehingga memengaruhi bisnis akomodasi di kawasan itu.

“Inilah yang terjadi di berbagai daerah. Makanya setiap akomodasi itu tumbuh karena program pemerintah itu sendiri. makanya menjadi rentan. Tapi kalau misalnya punya blueprint pembangunan pariwisata kan jelas,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper