Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perusahaan Jepang Ramai-Ramai Delisting dari Bursa Tokyo, Ada Apa?

Perusahaan-perusahaan Jepang mencatatkan laju delisting tercepat dari bursa dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Papan saham elektronik perusahaan sekuritas di Tokyo, Jepang, menampilkan indeks Nikkei 225 Stock Average  pada Selasa, 28 Januari 2025./Bloomberg-Toru Hanai
Papan saham elektronik perusahaan sekuritas di Tokyo, Jepang, menampilkan indeks Nikkei 225 Stock Average pada Selasa, 28 Januari 2025./Bloomberg-Toru Hanai

Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan-perusahaan Jepang mencatatkan laju penghapusan saham (delisting) dari Bursa Efek Tokyo atau Tokyo Stock Exchange (TSE) tercepat dalam lebih dari satu dekade terakhir. 

Fenomena tersebut mencerminkan peningkatan aktivitas akuisisi, merger, dan pembelian kembali saham oleh manajemen (management buyout/MBO) seiring meningkatnya tekanan untuk mengoptimalkan penggunaan modal.

Data TSE yang dilansir dari Bloomberg pada Kamis (19/6/2025) menunjukkan, sepanjang paruh pertama 2025, sebanyak 59 perusahaan telah melakukan atau mengumumkan rencana untuk delisting. Catatan ini naik dari 51 perusahaan pada periode yang sama tahun lalu, dan merupakan rekor tertinggi sejak 2014.

Jika tren tersebut berlanjut, maka total perusahaan yang delisting tahun ini berpotensi melampaui rekor tahunan sebelumnya sebesar 94 perusahaan pada 2024.

Gelombang delisting terjadi di tengah dorongan TSE untuk menjadikan pasar saham Jepang lebih menarik bagi investor asing, dengan mendorong perusahaan tercatat meningkatkan nilai bagi pemegang saham. Perusahaan yang dinilai tidak memenuhi target perbaikan seperti valuasi dan pengurangan praktik kepemilikan silang (cross-shareholding) berisiko tersingkir dari bursa.

Langkah reformasi tersebut turut mendorong kinerja positif saham Jepang dalam beberapa tahun terakhir, serta membuka ruang lebih besar bagi aktivisme investor yang menuntut buyback saham, efisiensi manajemen, dan aksi korporasi lainnya. Aktivisme ini turut mendorong lonjakan aktivitas merger dan akuisisi.

“Penurunan jumlah perusahaan tercatat akibat aktivasi pasar modal justru merupakan perkembangan yang positif,” ujar Hiroshi Matsumoto, Manajer Portofolio Senior di Pictet Japan.

Reorganisasi Bursa Jepang

Jepang kini mengikuti jejak pasar AS dan Inggris, yang selama dua dekade terakhir menyaksikan banyak perusahaan menjadi privat karena regulasi pencatatan yang ketat dan berkembangnya pembiayaan pasar swasta.

Sejak tahun lalu, TSE memang menekankan bahwa kualitas perusahaan lebih diutamakan daripada kuantitas. Hajime Nakajima, Managing Director di Deloitte Tohmatsu Equity Advisory mengatakan, upaya yang dirancang TSE berjalan sesuai rencana. 

"Perusahaan dengan valuasi rendah akan semakin rentan menjadi target M&A atau buyout," lanjutnya.

Jumlah perusahaan tercatat di Bursa Tokyo turun menjadi 3.842 pada 2024, penurunan pertama sejak penggabungan Bursa Tokyo dan Bursa Osaka pada 2013. Bloomberg memperkirakan jumlah ini bisa turun lagi menjadi 3.808 pada akhir Juni 2025.

Sejak 2022, TSE telah mereorganisasi pasarnya menjadi tiga segmen: Prime (perusahaan besar), Standard, dan Growth (perusahaan kecil). Sejak itu pula, perusahaan diwajibkan memperbaiki tata kelola dan nilai perusahaan. 

Masa transisi bagi perusahaan yang tak memenuhi standar berakhir Maret 2025. Jika tak ada perbaikan, mereka akan terkena delisting paling cepat pada Oktober 2026.

Sebagian besar perusahaan yang keluar dari bursa melakukannya setelah diakuisisi oleh perusahaan lain atau dana investasi. Contohnya, ID&E Holdings yang bergerak di bidang konsultansi konstruksi diambil alih oleh Tokio Marine Holdings Inc. untuk memperkuat unit bisnis mitigasi bencana mereka.

Pedoman yang dirilis Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang pada 2023 terkait praktik terbaik akuisisi juga menjadi pemicu lonjakan aksi korporasi.

Faktor Penyebab Delisting

Beberapa perusahaan induk bahkan mencaplok anak usahanya yang juga tercatat di bursa guna menghindari konflik kepentingan yang umum dalam struktur kepemilikan Jepang. Salah satu contoh pencaplokan ini adalah akuisisi NTT Data Group Corp. oleh perusahaan induknya, Nippon Telegraph & Telephone Corp. (NTT), operator telekomunikasi terbesar di Jepang.

Lonjakan biaya pencatatan dan tekanan dari investor aktivis yang menuntut kebijakan dan dividen lebih besar turut mendorong tren buyout oleh manajemen. I’rom Group Co., perusahaan yang bergerak di dukungan uji klinis, bekerja sama dengan perusahaan investasi AS, Blackstone Inc., untuk menjadikan dirinya sebagai perusahaan privat.

Tao Zhiyuan, Manajer Portofolio di AllianceBernstein Japan Ltd., menyebut bahwa sektor kimia Jepang memiliki banyak perusahaan niche yang menarik, tetapi terlalu kecil untuk dijangkau oleh dana global.

“Jika Jepang berhasil menciptakan lebih banyak perusahaan besar dan kuat lewat merger dan akuisisi (M&A), maka jumlah target investasi dari perspektif global pun akan meningkat,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper