Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Pri Agung Rakhmanto

Founder and Advisor Referminor Institute, Pengajar di FTKE Universitas Trisakti

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Quo Vadis Tata Kelola Industri Gas Nasional

Berdasarkan data neraca gas PGN (2025), wilayah Jawa Barat hingga Sumatra bagian selatan diproyeksikan pada periode 2025—2035 dapat mengalami defisit pasokan gas sampai 513 MMSCFD.
Ilustrasi infrastruktur pipa gas PGN/Dok. PGN
Ilustrasi infrastruktur pipa gas PGN/Dok. PGN

Bisnis.com, JAKARTA - Meskipun neraca gas secara na­­­sional dipro­yek­­­si­­­kan ber­­­ada dalam kondisi surplus, ketidakseimbangan antara ketersediaan pasokan dan kebutuhan di berbagai wila­yah telah menunjukkan po­­­tensi terjadinya defisit.

Berdasarkan data neraca gas PGN (2025), wilayah Jawa Barat hingga Sumatra bagian selatan diproyeksikan pada periode 2025—2035 dapat mengalami defisit pasokan gas sampai 513 MMSCFD.

Dua hal yang paling sering disebut sebagai penyebab terjadinya defisit-kekurangan pasokan di beberapa wilayah dalam setiap diskursus pemerintahan dan publik adalah karena: 1) Faktor keterbatasan infrastruktur, 2) Penurunan produksi gas di wilayah yang bersangkutan. Keterbatasan infrastruktur terutama meliputi belum tersedianya pipa transmisi untuk konektivitas antar wilayah gas secara utuh, kurangnya receiving terminal, fasilitas LNG dan CNG retail, dan jaringan pipa distribusi gas yang bisa menjangkau titik konsumen dari jalur transmisi yang ada.

Secara formal, dengan menggunakan payung hukum UU No. 22/2001 (UU Migas), pengaturan tata kelola atau struktur industri gas nasional sebetulnya adalah model unbundling-retail competition. Dalam teori ekonomi, model ini mengadopsi premise kompetisi pasar persaingan sempurna (perfectly competititive market), dengan membuka kompetisi di setiap segmen mata rantai penyediaan gas hingga ke tingkat retail-konsumen, dengan tujuan akhir efisiensi alokatif bagi industri dan ekonomi secara keseluruhan.

Meskipun tidak ada hierarki baku, pengaturan model ini dapat dikatakan sudah melompat, melampaui model open access and wholesale competition yang merupakan struktur pasar dengan tahapan dan lingkup kompetisi lebih terbatas. Namun, sayangnya, dengan pengaturan yang sedemikian maju itu, prasyarat dan asumsi dasar bagi berjalannya model ini secara efektif di Indonesia banyak yang tidak terpenuhi.

Sebagai contoh, jumlah pemain di setiap segmen mata rantai penyediaan gas hingga ke konsumen tidak cukup banyak tersedia untuk terciptanya kondisi yang kompetitif. Pelaku usaha terbatas untuk bisa masuk ke industri yang ada, bukan karena faktor regulasi, tetapi terutama karena faktor tingginya set-up cost dan skala ekonomi yang sulit terpenuhi.

Konsekuensi logisnya, hanya ada sedikit—dapat dihitung—jumlah pemain dengan market power yang tidak berimbang, sehingga yang terjadi adalah model di dalam formal pengaturannya mendasarkan pada prinsip pasar persaingan sempurna, tetapi di dalam praktik kemudian menjadi gabungan antara model kompetisi terbatas-monopolistik (monopolistic competition) di sisi hulu dan model monopoli alamiah (natural monopoly) di sisi midstream-downstream.

Ambiguitas yang ada ini menyebabkan antara pengaturan formal yang ada dengan model yang secara faktual berjalan tidak sinkron. Di satu sisi, pengaturan yang ada secara de jure menggariskan prinsip-prinsip kompetisi dan mekanisme pasar, di sisi lain secara de facto tidak dapat memfasilitasi prinsip-prinsip kompetisi dan mekanisme pasar dapat bekerja sendiri secara efektif.

Di dalam kondisi yang ambigu dan tidak sinkron itu, di dalam praktik pun sering menerapkan berbagai kebijakan, terutama kebijakan harga (pricing policy), yang merefleksikan betapa kita tidak cukup konsekuen dan konsisten dengan model yang kita pilih-miliki tersebut. Di satu sisi kita sering menerapkan pengaturan yang mengedepankan business to business (B2B) baik di hulu, midstream, maupun downstream, di sisi lainnya kita juga menerapkan pembatasan (capping) harga, termasuk dalam hal ini pembatasan pada return on investment baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kita sering menggariskan kebijakan yang secara esensi adalah penugasan kepada badan usaha (terutama BUMN), tetapi tidak secara konsekuen melengkapinya dengan kompensasi atau jaminan pengembalian investasi yang jelas dan memadai. Kita seperti tidak (mau) memahami trade-off atau konsekuensi logis dari setiap pilihan kebijakan atau kondisi yang ada. Dua contoh saja dari hal ini; 1) Di hulu kita mengharapkan bisa memonetisasi stranded gas atau temuan gas skala raksasa seperti di proyek gas laut dalam atau Masela, tetapi di sisi lain kita memberikan sinyal harga yang tidak menarik dengan capping harga di kepala sumur 6 dolar AS/MMBTU.

2) Kita mengharapkan infrastruktur penerima gas, transmisi-distribusi gas untuk konektivitas antarwilayah berkembang cepat, tetapi lebih menyerahkannya kepada mekanisme pasar pada model yang secara faktual lebih merupakan model natural monopoly, yang saja tidak akan kompatibel, apalagi di dalam konteks percepatan.

REKOMENDASI

Lalu, quo vadis model tata kelola industri gas nasional kita saat ini dan ke depan? Jawabannya sebetulnya secara tidak langsung sudah disediakan oleh model yang sejauh ini secara faktual telah berjalan, yaitu untuk saat ini adalah model monopolistic competition di sisi upstream dan natural monopoly di sisi midstream-downstream-nya. Kita tak harus—dan tak bisa—secara serta merta melompat mengubahnya menjadi model unbundling-retail competition ataupun model open access and wholesale competition, tanpa melalui pemenuhan prasyarat-prasyaratnya, baik dari sisi teknis, ekonomi, maupun sosial-politik.

Hal yang perlu kita lakukan di tingkatan praktikal saat ini adalah (sekadar) mensikronkan dulu langkah dan kebijakan yang diambil dengan model faktual yang sedang berjalan. Maka, beberapa pilihan rasional-praktikal di upstream-midstream-dowstream yang mesti atau perlu dilakukan adalah: Pertama, menghilangkan capping harga gas di kepala sumur pada angka nominal tertentu dan memonetisasi stranded dan giant-discovered gas di Tanah Air berdasarkan kelayakan keekoomian pengembangan lapangan.

Kedua, membuka keran impor LNG untuk diversifikasi dan mendorong kompetisi lebih di sisi suplai dan sekaligus merealisasikan benefit-opportunities dari dilakukannya perdagangan internasional. Ketiga, memberikan kemudahan—regulasi dan perlakuan khusus—untuk percepatan proyek-proyek hulu migas nasional strategis seperti proyek pengembangan Blok Masela, Indonesia Deepwater Development & Geng North, Tangguh UCC, dan Asap Kido Merah.

Keempat, memberikan kompensasi dan atau jaminan pengembalian investasi yang layak secara keekonomian untuk penugasan BUMN seperti dalam proyek strategis pengembangan pipa gas Dumai—Sei Mangke, percepatan-pemanfaatan pipa transmisi Cirebon—Semarang (Cisem), pipa gas Bintuni—Fakfak dan LNG facilities di Indonesia bagian Tengah-Timur.

Kelima, memberikan penugasan kepada BUMN migas untuk menjalankan peran sebagai agregator dan integrator gas nasional untuk stabilisasi suplai dan harga gas domestik. Dari sinilah, dengan evaluasi dan penyempurnaan yang juga harus berjalan, baru nanti kita bisa melihat dengan lebih jelas, model tata kelola industri gas nasional seperti apa yang nantinya bisa bekerja secara lebih baik, efektif-efisien untuk kita.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper