Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bursa Asia Awal Juli Tersandung Deadline Tarif Trump

Pasar keuangan bersiap menghadapi lonjakan volatilitas menjelang 9 Juli, tenggat krusial bagi sejumlah negara untuk menyelesaikan kesepakatan dagang dengan AS.
Papan informasi saham Stock Exchange of Thailand (SET) yang ditampilkan di bangkok, Thailand pada Senin (26/10/2020). / Bloomberg-Taylor Weidman
Papan informasi saham Stock Exchange of Thailand (SET) yang ditampilkan di bangkok, Thailand pada Senin (26/10/2020). / Bloomberg-Taylor Weidman

Bisnis.com, JAKARTA — Harapan akan reli musiman di pasar saham Asia sepanjang Juli tampaknya harus pupus tahun ini, seiring meningkatnya tekanan dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump dan memburuknya sentimen makro global.

Mengutip Bloomberg, Rabu (2/7/2025), pasar keuangan tengah bersiap menghadapi lonjakan volatilitas menjelang batas waktu 9 Juli—tenggat krusial bagi sejumlah negara untuk menyelesaikan kesepakatan dagang dengan Washington.

Ketidakpastian hasil negosiasi menjadi batu sandungan utama bagi bursa Asia untuk mempertahankan rerata imbal hasil historis bulan Juli sebesar 1,36%, yang selama ini tercatat sebagai bulan berkinerja terbaik kedua dalam satu dekade terakhir.

Global Chief Investment Officer Deutsche Bank Private Bank Christian Nolting  mengungkapkan investor kini menahan diri untuk menambah eksposur di pasar negara berkembang Asia.

“Meskipun komentar terakhir dari negosiator tingkat tinggi menunjukkan kemajuan yang konstruktif dengan mitra dagang utama di Asia, ketidakpastian tetap tinggi, mengingat sengketa dagang di masa jabatan pertama Presiden Donald Trump berlangsung hingga 1,5 tahun,” tambahnya.

Indeks MSCI Asia Pacific sempat mencatatkan reli tiga bulan berturut-turut hingga akhir Juni. Namun ancaman tarif besar-besaran pasca "Liberation Day" berpotensi memicu tekanan tajam, serupa dengan gejolak pada awal April lalu.

Trump telah menegaskan tak akan memperpanjang tenggat 9 Juli, bahkan kembali melontarkan ancaman tarif baru terhadap Jepang.

Di tengah ketegangan ini, pasar saham Asia melemah di awal sesi perdagangan Rabu (2/7/2025). Indeks Topix Jepang terkoreksi 0,27% ke 2.824,53, sementara Kospi Korea Selatan jatuh 1,36% ke level 3.047,12.

Bahkan jika kesepakatan berhasil dicapai, sebagian tarif diperkirakan tetap diberlakukan, memberikan beban tambahan bagi perekonomian Asia yang sangat bergantung pada ekspor.

Beberapa otoritas moneter di Asia juga telah merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025. Di sisi lain, suku bunga acuan AS yang masih tinggi menghambat ruang manuver bank sentral kawasan untuk menurunkan biaya pinjaman.

Gary Dugan, CEO Global CIO Office, menyebut kuartal III/2025 sebagai periode penuh jebakan, ditandai inflasi tinggi dan potensi perlambatan ekonomi global. Ia juga meragukan The Fed akan memiliki alasan cukup kuat untuk segera menurunkan suku bunga.

Namun demikian, hasil negosiasi yang lebih ringan dari perkiraan serta sinyal dovish dari The Fed bisa memantik arus modal ke Asia. Gary Tan, Manajer Portofolio Allspring Global Investments, menilai valuasi aset Asia masih menyisakan ruang penguatan.

Saat ini, The Fed masih menahan diri dari penurunan suku bunga, sembari mencermati dampak kebijakan tarif Trump terhadap inflasi domestik. Meski begitu, tekanan dari Gedung Putih untuk segera menurunkan suku bunga kian meningkat. Dalam beberapa hari terakhir, dua gubernur The Fed menyatakan bahwa pemangkasan bisa dilakukan secepatnya pada Juli.

Indeks MSCI Asia Pacific telah menguat 12% sepanjang tahun berjalan, melampaui kinerja bursa saham AS. Saham-saham Korea Selatan dan Hong Kong mengalami peningkatan minat beli, tetapi pasar Asia Tenggara masih terpukul oleh tarif tinggi.

Tim strategi Nomura Holdings yang dipimpin Chetan Seth tetap memperkirakan pasar akan bergerak volatil selama musim panas ini.

“Kami menyarankan investor untuk fokus pada pemilihan saham dan tema-tema idiosinkratik yang mampu memberikan perlindungan dari ketidakpastian kebijakan dan menawarkan visibilitas lebih baik,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper