Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menyiapkan anggaran senilai US$15,5 miliar atau setara Rp251,24 triliun (asumsi kurs Rp16.209 per US$) untuk belanja impor LPG, LNG, dan minyak mentah dari Amerika Serikat (AS). Rencana ini dinilai menguntungkan sekaligus dapat menjadi tantangan.
Adapun, rencana impor energi dari Negeri Paman Sam itu merupakan salah satu upaya negosiasi RI untuk menurunkan tarif resiprokal 32% yang akan dikenakan Presiden AS Donald Trump. Dalam negosiasi itu, Indonesia secara total berencana untuk membelanjakan US$34 miliar atau setara Rp551,1 triliun untuk impor dari AS.
Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai langkah Indonesia untuk meningkatkan impor energi dari AS merupakan pilihan rasional. Menurutnya, selama ini RI memang mengimpor LPG dan minyak mentah dalam jumlah besar. Untuk itu, mengalihkan impor ke AS tak menjadi masalah besar.
"Jadi akan positif saja bagi kita, setidaknya netral saja karena toh kalau bukan dari AS kita juga masih tetap harus mengimpornya dalam besaran nominal yang kurang lebih juga akan setara, tergantung fluktuasi harga migas dan kurs US$ juga," tutur Pri Agung kepada Bisnis, Senin (7/7/2025).
Pri Agung pun menuturkan, karena menjadi bagian dari paket negosiasi, sebaiknya pemerintah juga mendorong investasi migas di AS. Apalagi, AS memiliki kekuatan dalam pengembangkan teknologi, eksplorasi, dan produksi migas.
Oleh karena itu, investasi di sektor hulu maupun hilir migas di AS cukup potensial. Menurutnya, PT Pertamina (Persero) sangat berpeluang untuk bisa mengakuisisi lapangan atau proyek yang sudah masuk tahap eksplorasi maupun produksi di AS.
"Hulu migas AS, khususnya pengembangan dan produksi shale oil shale gas itu para pemainnya banyak dari perusahaan migas AS kelas independen, yang secara skala ukuran korporasi sebenarnya jauh di bawah Pertamina," imbuh Pri Agung.
Pri Agung pun berpendapat, jika Pertamina berinvestasi di AS, maka akan mendukung ekspansi perusahaan pelat merah itu di ranah global. Di samping itu, upaya itu juga dapat mendukung lifting migas nasional dan ketahanan energi RI.
"Hasil produksi migasnya kan bisa dibawa, seperti impor dari AS, tetapi itu dari produksi kita sendiri," katanya.
Lebih lanjut, Pri Agung menuturkan bahwa kebijakan tarif Trump memang bagian dari upaya AS untuk ekspansi pasar LNG ke Asia Pasifik. Hal ini pun berpotensi memperketat persaingan dan keekonomian LNG global.
Selain itu, kata Pri Agung, proyek-proyek pengembangan lapangan LNG di Indonesia akan mendapatkan persaingan yang lebih ketat untuk bisa mendapatkan pasar.
"Monetisasi pengembangan lapangan-lapangan gas di Indonesia skala besar bisa terkena dampaknya, bisa makin mundur atau batal, jika tidak segera mendapatkan market," ucap Pri Agung.
Kendati demikian, secara umum tentu juga ada peluang di dalam tantangan tersebut. Menurut Pri Agung, market gas domestik RI yang terus naik mestinya harus dimaksimalkan dengan percepatan pengembangan infrastruktur.
"Kalau bisa sekalian menggandeng AS di situ atau bahkan langsung ke sisi hulunya, mengajak industri migas AS untuk masuk sebagai investor di dalam memonetisasi lapangan-lapangan gas di kita, tentu akan positif," kata Pri Agung.
Plus Minus Rencana RI Impor Energi Rp251 Triliun dari AS
Rencana impor energi dari Amerika Serikat (AS) dinilai akan memberikan keuntungan bagi Indonesia, tetapi juga dapat menjadi tantangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Mochammad Ryan Hidayatullah
Editor : Denis Riantiza Meilanova
Topik
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

1 jam yang lalu
Banks Upbeat on Outlook for H2 2025
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
Terpopuler
# Hot Topic
Rekomendasi Kami
Foto
