Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Impor Nikel dari Filipina Diproyeksi Melonjak 5-10 Juta Ton, Mengalir ke Mana?

Impor bijih nikel dari Filipina diperkirakan akan melonjak di kisaran 5 juta-10 juta ton pada tahun ini.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Impor bijih nikel dari Filipina diperkirakan akan melonjak tahun ini untuk memenuhi permintaan dari smelter-smelter nikel China di Indonesia yang terdampak pembatasan produksi oleh pemerintah.

Melansir dari Bloomberg, Jumat (11/7/2025), Presiden DMCI Mining, perusahaan tambang Filipina, Tulsi Das Reyes memproyeksikan ekspor bijih nikel dari Filipina ke Indonesia akan meningkat sekitar 5 juta hingga 10 juta ton pada tahun ini dibandingkan akhir 2023 yang mencapai sekitar 1 juta ton.

Sebagian besar produksi bijih nikel Filipina yang mencapai lebih dari 30 juta ton tetap diekspor ke pasar utama, yaitu China. Namun, pengiriman ke negara tetangga, Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan pengetatan regulasi tambang pemerintah Indonesia untuk menjaga stabilitas harga.

Reyes mengatakan, sebagian dari target ekspor bijih nikel DMCI sebanyak 2 juta ton pada tahun ini diperkirakan akan dikirim ke Indonesia. Menurutnya, tren peningkatan ekspor bijih nikel ke Indonesia tidak akan berlangsung lama, tetapi akan tetap stabil.

“Kalau saya jadi Indonesia, saya akan memaksimalkan sumber daya dalam negeri,” ujar Reyes dalam sebuah wawancara pada Kamis.

“Saya rasa mereka [Indonesia] tidak ingin terlalu banyak impor dari Filipina,” imbuhnya, sembari menyebut bahwa para pemilik smelter China juga kemungkinan akan lebih mengutamakan pasokan dari tambang mitra mereka di Indonesia.

Filipina merupakan produsen bijih nikel terbesar kedua di dunia. Namun, masih tertinggal dari Indonesia dalam mengembangkan industri hilir karena tingginya kebutuhan modal untuk pembangunan smelter. Upaya terbaru pemerintah Filipina untuk melarang ekspor mineral mentah guna mendorong investasi di sektor pengolahan gagal karena ditolak oleh parlemen pada bulan lalu, menyusul penolakan dari pelaku industri.

Namun, beberapa perusahaan tambang Filipina belum sepenuhnya meninggalkan rencana pengembangan smelter nikelnya. DMCI bekerja sama dengan perusahaan tambang besar lainnya, Nickel Asia Corp., untuk mengkaji kelayakan pembangunan pabrik pemurnian. Keduanya tengah mempertimbangkan pembangunan smelter nikel dengan teknologi high-pressure acid leaching (HPAL) senilai sekitar US$1,5 miliar dan telah berdiskusi dengan perusahaan asing terkait keahlian teknis dan potensi investasi.

Reyes menuturkan, keputusan untuk melanjutkan proyek tersebut akan bergantung pada kecepatan eksplorasi tambang karena dibutuhkan cadangan bijih nikel sekitar 300 juta ton dengan kadar tertentu untuk operasional selama 30 tahun. Saat ini, DMCI memiliki dua tambang nikel dan tengah menjajaki pengembangan lokasi baru.

DMCI Mining, yang kembali mencetak laba pada kuartal pertama setelah sebelumnya merugi, memperkirakan akan mengeskpor 2,5 juta ton hingga 3 juta ton bijih nikel pada tahun depan, dengan China tetap menjadi pasar utamanya. Namun, kebijakan tarif timbal balik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap China dapat menjadi risiko bagi sektor tambang ke depannya.

“Pertumbuhan bisnis kami sepenuhnya bergantung pada apa yang terjadi di China,” ujar Reyes.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), yang diakses Bisnis pada Jumat (11/7/2025), impor bijih nikel dan konsentrat dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Januari-Mei 2025 mencapai 2,77 juta ton dengan nilai US$122,71 juta. Angka tersebut melonjak dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 995.200 ton dengan nilai US$37,06 juta.

Mayoritas impor nikel mengalir ke Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, dengan volume tertinggi tercatat pada Mei 2025 yang mencapai 1,20 juta ton. Angka tersebut meningkat signifikan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya yang mencapai 57.450 ton pada Januari 2025, 53.500 ton pada Februari 2025, 279.450 ton pada Maret 2025, dan 630.773 ton pada April 2025.

Sebagian impor nikel juga mengalir ke Morowali, Sulawesi Tengah, sebesar 52.200 ton pada Maret 2025 dan melonjak menjadi 442.895 ton pada Mei 2025.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper