Bisnis.com, JAKARTA — Kesepakatan dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat melibatkan klausul asal barang atau rules of origin. Pemerintah menjelaskan bahwa kedua negara masih membicarakan detail klausul asal barang itu lebih lanjut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan klausul rules of origin (RoO) dalam kesepakatan dagang RI-AS itu hampir sama seperti klausul transshipment dalam kesepakatan dagang Vietnam-AS.
Dalam kesepakatan dagang Vietnam-AS, barang negara lain yang melakukan transshipment ke Vietnam sebelum masuk ke AS mendapatkan tarif tinggi 40%. Selama ini, banyak industri China yang melakukan transshipment dari Vietnam untuk menghindari tarif impor tinggi ke AS.
Baca Juga : Airlangga Buka Suara soal Transfer Data Pribadi jadi Kesepakatan Dagang AS-RI, Jamin Semua Aman |
---|
Hanya saja, Airlangga mengaku sudah memberi penegasan kepada pemerintah AS bahwa tidak ada praktik transshipment di Indonesia. Oleh sebab itu, sambungnya, diatur klausul asal barang atau RoO, bukan klausul transshipment.
Secara umum, ketentuan RoO digunakan untuk mencegah produk negara nonmitra menikmati fasilitas tarif rendah. Misalnya, pengusaha China berinvestasi dengan membangun pabrik di Indonesia untuk menghindari tarif impor tinggi yang diterapkan AS ke Negeri Panda.
Pabrik China yang berada di Indonesia itu tetap mengimpor bahan baku dari Negeri Panda (konten asing). Ketentuan RoO biasanya mengatur seberapa besar konten asing yang masih dibolehkan agar suatu barang tetap dianggap berasal dari Indonesia.
"Maka kita perlu menyepakati third party vendor [vendor pihak ketiga] itu sampai di mana, berapa luas. Nah, ini masih dalam pembicaraan [antara RI dengan AS]," jelas Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto (kedua dari kiri) di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Rabu (2/7/2025)./Bisnis-Lorenzo Anugerah Mahardhika
Sementara itu, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengaku AS memang selalu mengerjakan klausul RoO maupun transshipment dalam kesepakatan dagang semua negara. Oleh sebab itu, lanjutnya, Indonesia tidak terkecuali.
"Di format standarnya dengan seratus sekian negara itu kan ada mengenai RoO, transshipment. Kan kita dianggap enggak berpotensi," klaim Susi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).
Adapun dalam dalam salah satu poin kesepakatan dagang RI-AS yang dirilis Gedung Putih, disampaikan Amerika Serikat dan Indonesia akan merundingkan ketentuan asal barang (rules of origin) yang bersifat fasilitatif untuk memastikan bahwa manfaat dari perjanjian ini terutama dinikmati oleh Amerika Serikat dan Indonesia.
Risiko Klausul Asal Barang
Peneliti Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Riandy Laksono menilai bahwa kesepakatan dagang RI-AS menyimpan risiko strategis yang perlu diantisipasi, salah satunya terkait definisi asal barang (rules of origin).
Riandy mengaku penasaran bagaimana pemerintah AS akan mendefinisikan asal barang yang layak mendapatkan perlakuan tarif preferensial.
“Pertanyaannya adalah, seberapa besar konten asing yang masih dibolehkan agar suatu barang tetap dianggap berasal dari Indonesia? Apakah maksimal 20%, 30%? Saat ini umumnya boleh hingga 60%, tapi saya menduga AS akan mendorong ambang batas yang lebih rendah,” ujar Riandy kepada Bisnis, Rabu (23/7/2025).
Dia menjelaskan bahwa komponen asal China masih mendominasi struktur impor bahan baku Indonesia, yakni sekitar 25% dari total keseluruhan. Jika AS menilai produk buatan Indonesia masih mengandung terlalu banyak komponen asal China maka bukan tidak mungkin produk RI ikut terdampak tarif tinggi yang ditujukan untuk China, yang saat ini berkisar 50%.
Sementara itu, Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan menjelaskan sebelum adanya klausul RoO ataupun transshipment, muncul harapan besar investasi asing langsung akan mengalir ke Indonesia.
Alasannya, AS menetapkan tarif impor tinggi ke China. Barang-barang yang diproduksi di China pun terancam tidak kompetitif lagi di AS karena harganya meningkat tajam, sejalan dengan kenaikan tarif impor.
Akibatnya, muncul potensi relokasi pabrik-pabrik dari China ke negara lain yang tarif impornya ke AS lebih rendah agar bisa tetap menjual barang-barangnya ke Negeri Paman Sam. Realokasi pabrik-pabrik China itu sempat terjadi dalam masa pemerintahan pertama Trump (2017—2021).
Hanya saja, klausul RoO dalam kesepakatan dagang RI-AS membuat harapan relokasi pabrik-pabrik dari China menjadi tidak relevan. "Kalau ancaman itu nyata kan artinya enggak akan juga [pabrik-pabrik China] ke Indonesia gitu. Jadi, harapan bisa datang investasi ke Indonesia itu enggak ada," ujar Deni kepada Bisnis, Rabu (16/7/2025).
Masalahnya, China merupakan salah satu negara yang paling banyak berinvestasi di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 2024 misalnya, berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi, total nilai investasi China ke Indonesia mencapaiUS$8.106 juta atau terbesar ketiga, hanya kalah dari Singapura (US$20.075 juta) dan Hong Kong (US$8.216 juta).