Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menguji Klaim Prabowo soal Data Penurunan Kemiskinan RI

Prabowo klaim tingkat kemiskinan RI turun, yang akan dikonfirmasi oleh BPS dalam pengumuman data terbaru hari ini. Benarkah penduduk RI lebih sejahtera?
Dany Saputra, Annasa Rizki Kamalina
Jumat, 25 Juli 2025 | 08:38
Presiden Prabowo Subianto saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Ruang Sidang Kabinet, Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, (5/5/2025)./ dok BPMI Setpres
Presiden Prabowo Subianto saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Ruang Sidang Kabinet, Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, (5/5/2025)./ dok BPMI Setpres

Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto mengklaim bahwa angka kemiskinan dan pengangguran Indonesia turun, berdasarkan laporan langsung Kepala Badan Pusat Statistik alias BPS. Setelah memperlihatkannya ke presiden, BPS pun akan mengumumkan data kemiskinan kepada publik hari ini.

Prabowo tidak mengungkapkan data kemiskinan itu dalam forum khusus atau pengumuman resmi dari Istana, melainkan muncul dalam pidatonya saat Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo, Jawa Tengah pada Minggu (20/7/2025). Prabowo sebut angka kemiskinan dan pengangguran RI turun.

"Kepala BPS lapor ke saya angka pengangguran menurun angka kemiskinan absolut menurun, ini BPS yang bicara," ungkap Prabowo.

Prabowo tidak merinci berapa tingkat kemiskinan terbaru maupun data kapan yang dia maksud. Namun, jika mengacu pada data yang semestinya telah diumumkan BPS, pernyataan itu bisa merujuk pada data tingkat kemiskinan per Maret 2025.

BPS merilis data tingkat kemiskinan dua kali setiap tahunnya, yakni data per Maret dan September. Data kemiskinan tidak disampaikan secara bulanan seperti halnya inflasi atau neraca perdagangan, melainkan setiap enam bulan.

Data kemiskinan per Maret biasanya diumumkan pada Juli, sedangkan data per Agustus biasanya diumumkan pada Januari tahun selanjutnya.

Awalnya BPS akan merilis data kemiskinan dan tingkat pengangguran pada Selasa (15/7/2025) pukul 11.00 WIB. Namun, satu jam sebelum jadwal rilis itu tiba-tiba BPS membatalkan pengumuman dan menundanya sampai waktu yang belum ditentukan.

Dalam pernyataannya, BPS mengaku penundaan tersebut dilakukan untuk menghadirkan data dan informasi statistik yang akurat dan terpercaya bagi seluruh pengguna data. Dengan demikian, klaim BPS, data dan informasi statistik bisa lebih akurat dan terpercaya.

"Waktu rilis angka kemiskinan [terbaru] akan kami umumkan segera," tulis BPS dalam pernyataannya.

Penundaan rilis itu sontak menuai kritik, baik dari masyarakat, akademisi, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Wakil Ketua Komisi X DPR Maria Yohana Esti Wijayati misalnya, menuntut BPS untuk menyampaikan data secara terbuka pada jadwal yang semestinya, jangan sampai terjadi keterlambatan karena data BPS menjadi acuan banyak pihak.

Setelah menuai sorotan, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti pun menyatakan akan mengumumkan data tersebut pada hari ini, Jumat (25/7/2025). Berdasarkan undangan yang Bisnis peroleh, BPS akan mengumumkan data tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi (rasio gini) per Maret 2025.

"Kami akan rilis Jumat, setelah kami pastikan data yang kami hitung akurat," ujar Amalia kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Kondisi Tingkat Kemiskinan Indonesia Terkini

BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2024 mencapai 24,06 juta orang, atau setara 8,57% dari total populasi. Angka dan persentasenya turun apabila dibandingkan Maret 2024, yakni 25,22 juta orang atau 9,03% dari total populasi.

Secara historis, tingkat kemiskinan maupun kemiskinan ekstrem terus turun dalam lima tahun terakhir. Sempat mengalami kenaikan pada masa Covid-19, tingkat kemiskinan menurun cukup konsisten hingga 2024 lalu.

Pada September 2020, tingkat kemiskinan Indonesia masih berada di level 10,19%. Setelah itu jumlahnya terus turun, misalnya pada September 2021 menjadi 9,71% dan September 2022 menjadi 9,57%.

Tingkat penduduk miskin ekstrem juga, yang pada Maret 2020 sebanyak 2,25% berhasil turun menjadi 0,83% pada Maret 2024. Perkembangan terbarunya akan diumumkan oleh BPS pada hari ini.

Awalnya pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan ekstrem mencapai 0% pada 2026. Namun, berdasarkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEMPPKF) 2026 target itu berubah dari awalnya hanya 0% menjadi memiliki batas atas 0,5%—yang berarti ada kemungkinan masih terdapat penduduk miskin ekstrem di Indonesia menjelang dua tahun kepemimpinan Prabowo.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menegaskan bahwa target kemiskinan ekstrem itu bukan berarti tak lagi 0%. Namun, angka tersebut masih dalam rentang target dan tetap mengarah pada 0%.

"Pada 2024 menargetkan dari 1% ke 0%, tapi realisasinya itu 0,83%. Pada 2025 dari 0,83% diharapkan menjadi 0%. Melihat perkembangan terkini, dari 0,83% [diharapkan] menjadi 0,5% sampai 0%," ujarnya usai Rapat Kerja bersama Pemerintah dan Bank Indonesia, Selasa (22/7/2025).

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman memandang pergeseran target ini mencerminkan adanya penyesuaian ekspektasi dari pemerintah terhadap kompleksitas struktural pengentasan kemiskinan ekstrem.

Dalam logika teknokratik anggaran, kondisi ini dapat dibaca sebagai bentuk rasionalisasi fiskal bahwa dengan ruang fiskal yang makin terbatas, efektivitas program perlu diukur secara lebih proporsional.

"Dengan kata lain, target baru ini lebih mencerminkan upaya konsolidasi antara target politik dan penyesuaian daya dukung kebijakan yang faktual," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (24/7/2025).

Garis Kemiskinan RI Lama Tak Direvisi

Banyak pihak yang menyoroti bahwa terus turunnya jumlah penduduk miskin turut berkaitan dengan garis kemiskinan Indonesia yang sudah lama tidak diperbarui. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pun buka suara, bahwa pemerintah sedang menggodok metode perhitungan garis kemiskinan nasional yang baru.

Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN Maliki menjelaskan bahwa revisi garis kemiskinan memang memiliki konsekuensi, yakni jumlah penduduk miskin akan meningkat. Namun, revisi itu menjadi penting karena akan menjadi tolok ukur kebijakan sistem penargetan program bantuan sosial (bansos) dan pemberdayaan.

Selama ini target perlindungan sosial tidak hanya untuk penduduk miskin, tetapi juga untuk penduduk rentan miskin. Oleh sebab itu, diyakini penduduk kategori miskin yang bertambah akan tetap terlindungi oleh berbagai program bantuan pemerintah.

Maliki mencontohkan data BPS menunjukkan penduduk miskin mencapai 8,57% dari total populasi atau setara 24,06 juta orang, sementara penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) sekitar 40% penduduk termiskin.

Selain itu, sambungnya, program keluarga harapan (PKH) diterima oleh 10 juta keluarga miskin. Jika satu keluarga miskin rata-rata memiliki 5 anggota maka PKH mencakup 50 juta penduduk.

Dia menekankan ke depan yang menjadi perhatian adalah akurasi penyaluran program tersebut. Menurutnya, hal itu sudah menjadi fokus utama pemerintah melalui penyusunan DTSEN atau Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional.

"Program bantuan pemerintah tetap, meskipun ada wacana penebalan, tetapi yang harus kita fokuskan nanti adalah konsolidasi supaya program-program tersebut betul-betul bisa menyasar orang-orang yang tepat dengan manfaat yang lebih optimal," jelas Maliki kepada Bisnis, belum lama ini.

Bank Dunia (World Bank) tercatat memperbarui standar garis kemiskinan dalam laporan terbarunya, June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform. Sebelumnya, Bank Dunia menggunakan perhitungan purchasing power parity (PPP) 2017, tetapi dalam laporan teranyar itu telah mengadopsi perhitungan PPP 2021, yang lebih mencerminkan kondisi terbaru masyarakat dunia.

PPP merupakan pengukuran perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang atau jasa di satu negara dengan di Amerika Serikat. Misalnya, US$1 di New York tentu memiliki daya beli yang berbeda dengan US$1 di Jakarta.

Kini garis kemiskinan internasional menjadi US$3.00 per orang per hari (dari sebelumnya US$2,15); garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah bawah menjadi US$4,20 per orang per hari (dari US$3,65); garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah atas menjadi US$8,30 per orang per hari (dari US$6,85).

"Peralihan dari PPP 2017 ke PPP 2021 dapat berimplikasi penting terhadap tingkat kemiskinan global, regional, dan negara," tulis Bank Dunia dalam laporannya.

Bank Dunia sendiri sudah mengategorikan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah-atas sejak 2023. Jika mengikuti standar terbaru negara berpenghasilan menengah-atas versi Bank Dunia, maka persentase masyarakat miskin di Indonesia mencapai 68,2% dari total populasi atau sekitar 194,4 juta orang pada 2024.

(Surya Dua Artha Simanjuntak, Wibi Pangestu Pratama)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro