Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Badai PHK Tekstil Belum Reda, Ekonom: Impor Ilegal Ancam Nasib Buruh

Badai PHK di sektor tekstil terus berlanjut akibat impor ilegal dan biaya produksi tinggi yang mengancam nasib buruh dan investasi.
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.comJAKARTA — Penutupan pabrik dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) tak kunjung mereda. Terbaru, raksasa pabrik kimia dan serat Asia Pacific Fibers (APF) resmi menutup produksinya di Karawang, Jawa Barat. 

Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan penutupan pabrik APF menambah panjang daftar perusahaan tekstil yang kolaps akibat tekanan berat di industri TPT. Kondisi ini tidak lain dipicu produk impor, baik bahan baku maupun produk jadi. 

“Terutama bahan jadi yang membanjiri pasar domestik, baik yang legal maupun ilegal. Sayangnya, pengawasan terhadap impor ilegal masih sangat lemah,” kata Faisal kepada Bisnis, Kamis (31/7/2025).

Dia menerangkan bahwa industri domestik yang beroperasi secara legal sangat dirugikan akibat kondisi ini. Apalagi barang-barang impor yang masuk ke pasar domestik memasang harga di bawah harga produksi. 

Menurut Faisal, kondisi ini juga dapat membuat investasi yang masuk ke dalam negeri terancam. Hal ini memicu hilangnya kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya dalam negeri. 

“Mereka sudah berinvestasi, membayar pajak, menciptakan lapangan kerja, tapi kalah bersaing dengan produk impor murah, apalagi yang masuk secara ilegal,” jelasnya.

Selain faktor impor, kenaikan biaya produksi juga menjadi tekanan tersendiri. Kenaikan upah buruh dan komponen produksi lainnya memperburuk daya saing pelaku usaha tekstil. Hal ini membuat banyak perusahaan tidak mampu lagi bertahan.

“Walaupun faktornya tidak tunggal, tetapi akses pasar domestik yang terganggu oleh impor adalah salah satu penyebab penting dari penutupan pabrik. Masalah lainnya seperti ketidakharmonisan kebijakan dan beban regulasi juga ikut memperburuk situasi,” ujarnya.

Dalam catatan Bisnis, jumlah pekerja yang menjadi korban PHK mencapai 42.385 orang sepanjang Januari—Juni 2025. Jumlahnya melonjak 32,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 32.064 pekerja yang kena PHK.

Situasi ini, menurut Faisal, seharusnya menjadi alarm serius bagi pemerintah. Dia mendesak agar pemerintah segera mengambil tindakan konkret.

“Pemerintah harus memberikan insentif yang lebih tepat sasaran, dan juga menerapkan disinsentif untuk produk-produk impor ilegal. Regulasi yang tidak mendukung industri nasional harus segera dievaluasi,” tegasnya.

Apabila segera direspons, dikhawatirkan gelombang PHK akan terus meluas, menambah angka pengangguran dan memperlebar ketimpangan sosial, terutama di daerah-daerah yang bergantung pada sektor tekstil sebagai tulang punggung ekonomi.

Di samping itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat sekitar 70.000 buruh telah kena PHK dalam kurun waktu Januari–April 2025.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan beberapa perusahaan tekstil garmen di Jawa kembali akan melakukan PHK besar-besaran termasuk akibat dampak tarif Trump. 

Dia meminta pemerintah segera turun tangan mengatasi masifnya PHK di sejumlah pabrik TPT maupun sektor lain yang saat ini mulai bertumbangan. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro