Bisnis.com, JAKARTA – Istana Kepresidenan menanggapi data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,12% (year on year/yoy) pada kuartal II/2025.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan bahwa meskipun angka tersebut menunjukkan kinerja ekonomi yang positif, tetapi agar capaian ini tidak menjadi alasan untuk berpuas diri.
Menurut Prasetyo, angka pertumbuhan ekonomi tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan hasil kontribusi dari berbagai komponen utama seperti belanja rumah tangga, belanja pemerintah, serta investasi swasta.
“Pertumbuhan ekonomi itu bukan hasil dari satu atau dua komponen saja. Di dalamnya ada belanja rumah tangga, belanja pemerintah, dan juga investasi. Kalau BPS menyampaikan pertumbuhan 5,12%, itu cerminan dari keseluruhan komponen tersebut,” ujarnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (5/8/2025).
Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa peran pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang kondusif melalui berbagai stimulus dan kebijakan tetap menjadi kunci utama dalam mendorong pertumbuhan.
“Bahwa komponen itu adalah hasil program-program kalau dari sisi pemerintah dari hasil stimulus-stimulus yang diatur pemerintah ya memang demikian. Sistemnya begitu,” ucapnya.
Baca Juga
Namun di tengah pertumbuhan yang menggembirakan di atas kertas, Prasetyo tidak menampik bahwa ada “anomali sosial” yang kini mencuat di masyarakat.
Salah satunya adalah fenomena 'Rojali' (Rombongan Jarang Beli) dan 'Rohana' (Rombongan Hanya Nanya). Istilah Rojali dan Rohana memang sedang ramai diperbincangkan publik sebagai simbol keresahan masyarakat kelas menengah bawah terhadap ketidakpastian daya beli.
Prasetyo menilai bahwa istilah-istilah tersebut seharusnya tidak dijadikan bahan candaan, melainkan peringatan keras akan masih banyaknya kelompok masyarakat yang tertinggal secara ekonomi.
“Kami terus terang tak terlalu gembira juga dengan istilah tadi [Rohana & Rojali]. Menurut pendapat saya, istilah itu jangan dijadikan sebuah joke atau lelucon. Itu adalah lecutan bagi kita bahwa memang masih banyak yang harus mesti kami perjuangkan dan benahi,” tuturnya.
Dia mengakui bahwa dalam kerangka perhitungan makro ekonomi nasional, kondisi kelompok masyarakat seperti mereka yang berada di desil 1 dan desil 2 (lapisan ekonomi terbawah) kerap tidak tergambarkan secara eksplisit. Namun, bukan berarti negara menutup mata terhadap realitas tersebut.
Prasetyo menjelaskan pemerintah melihat fenomena Rohana dan Rojali sebagai pengingat sekaligus pendorong untuk bekerja lebih keras dalam membangun sistem ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
“Kalau bagi pemerintah fenomena itu menjadi pengingat bahwa masih ada kelompok saudara kita yang memang masih kita harus kerja terus mendorong pertumbuhan ekonomi kita lebih optimal lagi, mendorong investasi lebih banyak, mengurangi kebocoran sebagaimana Presiden sering sampaikan di segala sektor di segala lapisan,” pungkas Prasetyo.