Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik alias BPS melaporkan inflasi tahunan sebesar 2,37% pada Juli 2025. Angka itu menjadi yang tertinggi dalam 13 bulan terakhir.
Pendiri sekaligus Ekonom Senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Hendri Saparini menilai kenaikan inflasi tahunan Indonesia ke level tertinggi dalam 13 bulan terakhir itu belum mencerminkan pemulihan daya beli masyarakat secara menyeluruh.
Hendri menilai bahwa inflasi tahunan sebesar 2,37% pada Juli 2025 perlu dibaca secara lebih mendalam, terutama dengan mempertimbangkan struktur konsumsi masyarakat di berbagai kelompok pendapatan.
Agar dapat mencerminkan daya beli masyarakat, sambungnya, Badan Pusat Statistik (BPS) harus menjelaskan apakah inflasi itu dipengaruhi oleh penawaran (supply) atau permintaan (demand). Menurutnya, penawaran dan permintaan itu bisa dijelaskan apabila data inflasi diterangkan berdasarkan kelompok masyarakat, bukan hanya sekadar per provinsi atau nasional seperti yang dilakukan BPS selama ini.
“Inflasinya itu tidak bisa hanya gelondongan nasional, tapi harus ada inflasi berdasarkan tadi kelompok masyarakatnya dan areanya. Nah, kalau ini jadi tidak bisa menjelaskan,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (1/8/2025).
Hendri menjelaskan bahwa kelompok penduduk miskin memiliki struktur konsumsi yang sangat berbeda dibandingkan kelompok kaya, terutama karena sekitar 70% belanja rumah tangga miskin adalah untuk makanan. Artinya, ketika harga bahan pokok naik, kelompok miskin jauh lebih terdampak dibandingkan kelompok atas.
Baca Juga
Dia mencontohkan, jika terjadi inflasi di komoditas beras maka kelompok atas atau orang kaya tidak akan terlalu berpengaruh. Sebaliknya, kelompok bawah atau miskin langsung terpukul.
"Jadi tidak bisa dijelaskan, 'Kalau inflasinya tinggi, artinya daya belinya ya memang terjaga',” ujarnya.
Dari sisi tren, Core memperkirakan daya beli masyarakat tidak akan mengalami perbaikan signifikan pada paruh kedua 2025 ini kecuali ada dorongan permintaan yang bersumber dari kebijakan fiskal. Apalagi, sambungnya, momen pendorong daya beli sudah lewat seperti lebaran hingga libur sekolah.
Menurut Hendri, belanja pemerintah menjadi satu-satunya faktor yang masih bisa dioptimalkan untuk menjaga konsumsi rumah tangga pada semester II/2025. Hanya saja, saat ini realisasi anggaran belanja negara masih rendah karena efisiensi fiskal.
“Nah sekarang apa yang akan didorong? Anggarannya saja efisiensi. Jadi yang mana yang akan didorong untuk di semester II? Ini yang harusnya ada kebijakannya untuk mendorong spending-nya [belanja pemerintah] tadi,” tegasnya.
Pemerintah Sambut Baik Tren Kenaikan Inflasi
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut perkembangan indeks harga konsumen (IHK) terbaru, yang menunjukkan adanya tren kenaikan atau inflasi baik secara bulanan maupun tahunan memberi sinyal baik bagi perekonomian.
Airlangga mengklaim bahwa tren kenaikan inflasi menunjukkan bahwa daya beli masyarakat besar. Oleh sebab itu, dia memandang perkembangan itu secara positif.
"Kan [inflasi] sebetulnya bagus, menunjukkan demand konsumennya kuat," kata Airlangga kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (1/8/2025).
Meski demikian, salah satu kelompok harga yang menjadi perhatian khusus adalah biaya pendidikan. BPS mewanti-wanti biaya pendidikan berpotensi terus mengalami inflasi dalam dua bulan ke depan atau hingga September 2025.
Airlangga menganggap perkembangan itu merupakan suatu kewajaran karena Juli merupakan periode tahun ajaran baru sekolah-sekolah.
"Ini kan awal anak-anak sekolah, jadi pasti mereka menaikkan spending [pengeluaran] dari mereka untuk pendidikan," kata politisi Partai Golkar itu.
Adapun, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menyampaikan bahwa terjadi inflasi kelompok pendidikan sebesar 0,82% (month to month/MtM) pada Juli 2025, punya andil 0,05% terhadap inflasi nasional. Hanya saja, kenaikan harga kelompok ini disebut akan menjadi tren bulanan ke depan.
“Berdasarkan data historis, kelompok pendidikan masih berpotensi memberikan andil terhadap inflasi pada dua bulan berikutnya yaitu Agustus dan September,” ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (1/8/2025).
Pada Juli 2025, komoditas utama yang memicu kenaikan harga di kelompok ini antara lain adalah biaya sekolah dasar sebesar dengan andil 0,02% (MtM), diikuti biaya sekolah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), bimbingan belajar, dan taman kanak-kanak yang masing-masing berkontribusi 0,01% (MtM).
Secara keseluruhan, tingkat inflasi Indonesia Juli 2025 mencapai 0,30% MtM, naik dari posisi Juni 2025 yang senilai 0,19%. Sementara secara tahunan, Indonesia mencatatkan inflasi 2,37% (year on year/YoY) per Juli 2025, posisinya naik dari Juni 2025 dengan inflasi 1,87% (YoY).
"Terjadi kenaikan Indeks Harga Konsumen dari 108,27 pada Juni 2025 menjadi 108,60 pada Juli 2025," ujar Pudji.
Secara tahunan, komoditas penyumbang inflasi utama adalah emas perhiasan (0,46%), bawang merah (0,18%), tomat (0,16%), beras (0,15%), dan tarif air minum PAM (0,14%).
Sementara secara bulanan, komoditas penyumbang inflasi terbesar adalah beras (0,06%), tomat (0,05%), bawang merah (0,05%), cabai rawit (0,04%), dan bensin (0,03%).
Inflasi tahun berjalan atau dalam kurun Januari—Juli 2024 tercatat di level 1,69% (year to date/YtD). Angka itu masih berada di kisaran target inflasi APBN 2025 yaitu 2,5±1%.