Bisnis.com, JAKARTA - Bank Sentral China, People's Bank of China (PBOC), memilih untuk menahan diri dari pelonggaran moneter agresif meski perekonomian Negeri Panda mencatat kinerja terburuk tahun ini. PBOC berkomitmen untuk tetap fokus pada dukungan terarah.
Dalam laporan kuartalan yang dikutip dari Bloomberg pada Senin (18/8/2025), PBOC menegaskan akan menerapkan kebijakan moneter longgar secara moderat dengan menyeluruh. Hal ini dilakukan dengan memberikan dukungan terarah bagi perekonomian.
Dalam laporannya, PBOC menilai ekonomi China masih menghadapi tantangan berupa hambatan perdagangan yang meningkat dan lemahnya permintaan domestik. Namun, fondasi ekonomi tetap kuat dengan ketahanan yang solid.
Terkait ancaman deflasi yang menghantui lebih dari dua tahun terakhir, PBOC menyoroti perbaikan indeks harga konsumen inti — yang mengecualikan komponen pangan dan energi — dalam beberapa bulan terakhir.
Kebijakan pemerintah yang menindak persaingan harga tidak sehat serta pergeseran strategi untuk mendorong konsumsi juga dipandang akan memberi dampak positif pada inflasi.
Adapun, pernyataan ini muncul setelah data terbaru menunjukkan pelemahan permintaan domestik. Perekonomian China melemah pada Juli 2025 yang dipicu oleh kampanye pengendalian kelebihan kapasitas industri di dalam negeri serta tekanan dari tarif impor yang lebih tinggi.
Baca Juga
Selain itu, lemahnya stimulus untuk infrastruktur dan konsumsi juga memperlihatkan rapuhnya permintaan sektor swasta.
Meski demikian, dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 5,3% secara tahunan pada paruh pertama 2025, China dinilai masih dapat menoleransi perlambatan di semester kedua sembari tetap mencapai target resmi pertumbuhan sekitar 5%.
Dengan menyampaikan pandangan lebih optimistis atas inflasi, PBOC dinilai tengah mengisyaratkan penundaan penggunaan instrumen pelonggaran luas seperti pemangkasan suku bunga acuan atau rasio cadangan wajib atau Reserve Requirement Ratio (RRR) hingga akhir tahun.
Sebagai informasi, rasio cadangan wajib adalah ketentuan jumlah dana yang harus disisihkan bank sebagai cadangan. Menurut analis global, termasuk Citigroup Inc., langkah itu kemungkinan baru diambil saat risiko perlambatan ekonomi semakin besar.
“Dalam beberapa bulan ke depan, kebijakan struktural kemungkinan menjadi instrumen yang lebih penting bagi PBOC dibandingkan pemangkasan suku bunga atau GWM secara luas,” tulis ekonom Citigroup termasuk Yu Xiangrong.
Sementara itu, ekonom Goldman Sachs Group Inc. termasuk Chen Xinquan dalam risetnya menambahkan, penekanan PBOC pada implementasi kebijakan yang sudah ada dan pelonggaran terarah menunjukkan keterbatasan minat terhadap stimulus moneter besar-besaran.
Secara umum, ekonom memperkirakan PBOC masih akan memangkas suku bunga sebesar 10–20 basis poin dan menurunkan rasio cadangan wajib sekitar 50 basis poin pada akhir tahun.
Beberapa analis juga memprediksi pemerintah bakal menggulirkan stimulus fiskal tambahan apabila ekonomi melemah, termasuk injeksi kuasi-fiskal senilai 500 miliar yuan (US$70 miliar) seperti diproyeksikan Citi.
Selain itu, PBOC berjanji mencegah dana berputar secara pasif dalam sistem keuangan, mencerminkan kekhawatiran terhadap stabilitas finansial dan arbitrase. Menurut Goldman Sachs, hal ini kembali menegaskan bahwa bank sentral tidak terburu-buru melakukan stimulus besar-besaran.
PBOC juga mengungkap telah membentuk komite makroprudensial dan stabilitas keuangan sejak Januari 2025, sejalan dengan arahan pejabat tinggi untuk memperkuat mandatnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, bank sentral memperluas peran dalam menstabilkan pasar properti dan saham, termasuk memfasilitasi pembentukan dana kuasi-stabilisasi untuk pembelian ekuitas awal tahun ini.