Bisnis.com, JAKARTA - Belanja perpajakan untuk industri pengolahan atau manufaktur terus meningkat dalam 5 tahun terakhir. Namun, guyuran insentif ini belum efektif memacu pertumbuhan manufaktur.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, belanja perpajakan untuk industri pengolahan pada tahun depan dipatok Rp141,7 triliun. Jumlah ini naik 3,3% dibandingkan proyeksi pada 2025 yang sebesar Rp137,2 triliun.
Adapun, industri manufaktur menjadi sektor penerima manfaat belanja perpajakan terbesar dalam 5 tahun terakhir. Misalnya, pada 2024, sektor ini menerima insentif pajak senilai Rp98,8 triliun atau 24,7% dari total belanja perpajakan pada 2024.
Tingginya pemanfaatan di sektor industri pengolahan sebagian besar dimanfaatkan oleh industri untuk pengusaha dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar, pembebasan bea masuk untuk kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas serta pembebasan bea masuk untuk barang modal.
Pada 2026, sektor manufaktur masih menjadi penerima manfaat belanja perpajakan terbesar atau 25,1% dari total belanja perpajakan tahun depan yang diperkirakan mencapai Rp563,6 triliun.
Baca Juga
Meski demikian, kinerja industri pengolahan dari segi laju pertumbuhan dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) cenderung stagnan.
Berdasarkan laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan nonmigas tercatat tumbuh 5,60% (year-on-year/yoy) pada kuartal II/2025 atau lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya 4,31% yoy.
Pertumbuhan pada kuartal II/2025 itu juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kuartal II/2024 sebesar 4,63% yoy dan kuartal II/2023 sebesar 4,67% yoy. Namun, pertumbuhan tersebut cenderung stagnan sedekade terakhir atau pada kuartal II/2015 yang sebesar 5,22%.
Dari segi kontribusi terhadap PDB, sektor industri pengolahan juga masih menjadi penggerak utama ekonomi kuartal II/2025. Adapun, sumbangsihnya terhadap PDB mencapai 18,67% yoy.
Jika dilihat secara tahunan, capaian kuartal kedua tahun ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, yakni 18,52% yoy pada kuartal II/2024 dan 18,25% pada kuartal II/2023. Angka tersebut terus tumbuh sejak terperosok ke level 17,84% yoy pada 2022.
Sayangnya, kontribusi manufaktur terhadap PDB juga cenderung stagnan, bergeming jika dibandingkan sedekade lalu atau kuartal II/2015 yang mampu tembus ke angka 20,91% yoy.
Persoalan Fundamental Perlu Dibenahi
Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Ariyo Irhamna mengatakan, meski industri dalam negeri sudah mendapatkan guyuran insentif pajak, kemajuannya tidak sepesat Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
“Kenapa tidak optimal insentif-insentif pajak tersebut karena insentif itu seperti icing on the cake atau hanya pemanis saja, jadi hal-hal lain yang lebih fundamental tidak dibenahi maka industri tidak akan bisa optimal,” kata Ariyo kepada Bisnis, Rabu (20/8/2025).
Menurut dia, insentif fiskal yang diberikan pemerintah harus sejalan dengan perbaikan polemik fundamental, seperti kepastian hukum untuk industri, persaingan usaha, dan penguatan inovasi dan teknologi pelaku industri.
“Jadi belanja perpajakan harus dievaluasi terkait efektivitasnya, sebab ini salah satu sumber kebocoran APBN, insentif-insentif yang tidak optimal,” jelasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, turunnya kontribusi sektor manufaktur perlu menjadi perhatian karena sektor ini memiliki daya ungkit atau multiplier effect yang besar terhadap PDB, lapangan kerja, dan ekspor.
“Dengan kebijakan yang pro-manufaktur dan responsif terhadap kebutuhan industri, kontribusi sektor industri terhadap PDB berpeluang tumbuh kembali di atas 19% dalam beberapa kuartal ke depan,” kata Saleh, dihubungi terpisah.
Adapun, beberapa strategi yang bisa mendorong kontribusi industri yaitu pertama realisasi insentif fiskal dan non-fiskal yang lebih terarah seperti super tax deduction untuk industri padat karya, insentif untuk produk substitusi impor, atau penurunan biaya energi untuk sektor tertentu.
Kedua, percepatan implementasi kebijakan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) secara konsisten dan terukur, agar dapat memberikan pasar yang lebih luas bagi pelaku industri nasional. “Terutama dalam pengadaan barang/jasa pemerintah,” imbuhnya.
Ketiga, penguatan ekosistem industri hulu-hilir, terutama untuk sektor prioritas seperti elektronik, pangan olahan, farmasi, dan kendaraan listrik, agar mendorong efek rantai yang lebih dalam.
“Keempat, kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan pendidikan vokasi, untuk memastikan tersedianya tenaga kerja industri yang terampil dan adaptif terhadap teknologi,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur mengatakan, meski stimulus fiskal untuk sektor manufaktur meningkat, masih terdapat kebijakan yang perlu dipertajam karena tidak tepat sasaran atau mismatch dan bias terhadap sektor tertentu.
"Porsi insentif relatif lebih dinikmati sektor padat-modal, misalnya penerima tax holiday industri pionir, sementara sektor padat-karya berorientasi ekspor furnitur menghadapi margin tipis dan volatilitas permintaan," kata Sobur kepada Bisnis, Rabu (20/8/2025).
Tak hanya itu, guyuran insentif perpajakan umumnya justru menekan arus kas terutama eksportir lantaran restitusi PPN yang tinggi dan berulang. Bahkan, proses klaim fasilitas tersebut juga tak selalu cepat untuk pelaku industri manufaktur skala kecil dan menengah (IKM).
Di sisi lain, stimulus fiskal yang diberikan belakangan ini tergerus lantaran permintaan pasar global dan hambatan dari mitra dagang. Alhasil, tantangan biaya logistik dan energi meningkat dan insentif tak terasa signifikan bagi industri.
"Insentif juga tidak otomatis jadi investasi bersih, sebagian fasilitas [tax allowance/tax holiday] efektif menarik proyek besar tertentu. Namun, additionality, investasi dan ekspor baru yang benar-benar tercipta, belum merata lintas sub-sektor dan wilayah," jelasnya.
Untuk itu, pihaknya menegaskan penerima insentif bagi pelaku industri yang lebih presisi. Dalam hal ini, dia mendorong sejumlah insentif yang perlu menjadi prioritas tahun depan seiring dengan kenaikan belanja perpajakan pemerintah untuk sektor industri pengolahan.
Pertama, restitusi PPN dikerjakan dengan kilat untuk eksportir padat karya sehingga likuiditas pabrik terjaga. Kedua, PPh 21 DTP sangat terarah dan bersyarat untuk sektor sektor padat karya sehingga dapat mendorong retensi tenaga kerja dan upskilling.
"Skema ini terbukti dipakai saat pandemi, bisa dibuat lebih tepat sasaran," terangnya.
Ketiga, super-deduction untuk research and development (R&D) yang diperluas ke proses yang lebih teknik dan dukungan proses sertifikasi due diligence seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menghadapi aturan EUDR di Eropa.
Keempat, percepatan depresiasi dan amortisasi untuk modernisasi mesin atau otomasi ringan di IKM, serta pembebasan bea masuk atau PPN impor mesin hijau dan spare parts kritikal.
"Kelima, fasilitas PPN tidak dipungut/dibebaskan untuk transaksi antar-fasilitas (KITE/TPB) dan bahan baku ekspor agar friction cost rantai pasok turun," tuturnya.
Keenam, insentif energi proses seperti tarif off-peak industri dan tarif untuk energi, serta efficiency tax credit guna menurunkan biaya produksi.
Ketujuh, pemberlakuan skema investment allowance berbasis kinerja dengan tambahan pengurangan penghasilan kena pajak berdasarkan output target ekspor, capaian TKDN, dan produktivitas.
"Kuncinya bukan hanya lebih besar insentif, tetapi lebih tajam, sederhana, dan likuid, menyasar working capital dan capex [capital expenditure] pelaku padat-karya dan ekspor, mempercepat restitusi, dan mengaitkan fasilitas dengan output konkret," pungkasnya.