Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diminta untuk mengantisipasi tidak tercapainya pertumbuhan ekonomi yang dipasang untuk 2026 yakni 5,4% (year-on-year/yoy) dan dampaknya terhadap penerimaan pajak yang lebih rendah dari target atau shortfall pajak.
Sebagaimana diketahui, pemerintah menargetkan perekonomian tumbuh 5,4% yoy pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Sementara itu, pemerintah menyatakan optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai sekitar 5,2% yoy setelah kuartal II/2025 tumbuh melesat di luar ekspektasi 5,12% yoy dari kuartal yang sama di 2024.
Di sisi lain, pada RAPBN yang sama, pemerintah turut mematok target penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun, atau tumbuh 13,5% yoy dari outlook 2025 yakni Rp2.706,9 triliun. Bersama dengan target penerimaan bea cukai Rp334,3 triliun, pemerintahan Prabowo Subianto memasang target tinggi pendapatan negara hingga Rp3.147,7 triliun.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah memasang target optimistis atas penerimaan pajak tahun depan yang bisa tumbuh hingga double digit. Pada 2025, outlook memperlihatkan bahwa pertumbuhan penerimaan pajak diperkirakan hanya sebesar 7,5% yoy.
"Apalagi tahun 2025 saja realisasinya diperkirakan hanya sekitar 95–96% dari target. Jika ekonomi 2026 tidak tumbuh sesuai asumsi 5,4%, potensi shortfall akan makin besar," terang Yusuf, dikutip Rabu (27/8/2025).
Pada awal Juli 2025 pun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah mengungkap outlook penerimaan pajak 2025 yang diperkirakan lebih rendah dari target APBN yakni Rp2.189,3 triliun. Pada tahun ini, Bendahara Negara menyebut outlook penerimaan pajak hanya sebesar Rp2.076,9 triliun atau terjadi shortfall Rp112,4 triliun.
Baca Juga
Yusuf pun menilai pemerintah sebaiknya lebih fokus pada pembenahan internal ketimbang menambah beban masyarakat. Digitalisasi sistem Coretax, penagihan piutang, serta memperluas basis wajib pajak dengan cara yang tepat dinilai bisa menjadi pilihan.
"Sementara rencana kenaikan tarif, seperti PPN, justru berisiko menekan daya beli dan memicu inflasi," terangnya.
Catatan lain juga diberikan untuk target pendapatan negara lainnya, termasuk bea cukai yang dipatok lebih tinggi Rp334,3 triliun, maupun PNBP yang turun menjadi Rp455 triliun.
Yusuf menilai langkah ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) yang dilakukan pemerintah, khususnya dengan rencana pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) bertujuan tidak hanya untuk menambah penerimaan negara. Ada beberapa faktor lain yang harus dipertimbangkan yakni dampak eksternalitas dari konsumsi minuman berpemanis secara berlebihan, efektivitas pengenaan cukai serta kondisi dari industri terkait maupun perekonomian secara umum.
Adapun, untuk PNBP yang turun dari tahun-tahun sebelumnya akibat hilangnya setoran dividen BUMN, pemerintah diperkirakan bakal bergantung ke sumber lain seperti royalti SDA. Masalahnya, sifat dari penerimaan berasal dari komoditas SDA adalah sifatnya yang fluktuatif.
"Jalan keluar yang lebih aman adalah diversifikasi, baik dengan mengoptimalkan aset negara maupun meningkatkan kinerja BUMN non-dividen. Yang tidak kalah penting, Dana Abadi yang menjadi alasan turunnya dividen harus betul-betul dikelola agar memberikan imbal hasil yang optimal dan tidak mengganggu likuiditas APBN," pungkas Yusuf.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun. Target pendapatan itu meliputi pajak Rp2.357,7 triliun, bea cukai Rp334,3 triliun, PNBP Rp455 triliun serta hibah Rp0,6 triliun.
"Rasio pendapatan negara diharapkan naik ke 12,24% [terhadap] PDB. Rasio pajak naik ke 10,47%," terang Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di hadapan Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Pada hari yang sama, pemerintah dan Komisi XI DPR telah menyepakati asumsi dasar dan postur pada Rancangan APBN 2026, Jumat (22/8/2025). Kesepakatan yang tercapai tanpa perdebatan antara pemerintah dan DPR itu berlangsung singkat.
"Dengan mengucapkan alhamdulillah apa yang menjadi kesimpulan rapat sore ini saya nyatakan disetujui," terang Ketua Komisi XI DPR Misbakhun.
Berikut postur RAPBN 2026 dan asumsi dasar yang telah disepakati pemerintah dan Komisi Keuangan DPR pekan lalu:
Pendapatan negara Rp3.147,7 triliun
- Pajak : Rp2.357,7 triliun
- Bea dan cukai : Rp334,3 triliun
- PNBP : Rp455 triliun
Belanja negara Rp3.786,5 triliun
- Belanja pemerintah pusat : Rp3.136,5 triliun
- Transfer ke daerah (TKD) : Rp650 triliun
Defisit Rp638,8 triliun atau 2,48% terhadap PDB
Postur APBN 2026 itu dirancang sesuai dengan asumsi dasar makro sebagai berikut:
- Pertumbuhan ekonomi : 5,4% (yoy)
- Inflasi : 2,5% (yoy)
- Imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun : 6,9%
- Nilai tukar Rupiah : Rp16.500 per dolar Amerika Serikat (AS)
- Harga minyak mentah atau ICP : US$70 per barel
- Lifting minyak : 610 (ribu barel per hari/rbph)
- Lifting gas bumi : 984 (ribu barel setara minyak bumi per hari/rbsmph)
Adapun, target pembangunan pada RAPBN 2026 yakni:
- Tingkat pengangguran terbuka : 4,44%-4,96%
- Rasio gini : 0,377 - 0,380
- Tingkat kemiskinan ekstrem : 0 - 0,05%
- Tingkat kemiskinan : 6,5 - 7,5%
- Indeks Modal Manusia : 0,57
- Indeks Kesejahteraan Petani : 0,7731
- Proporsi penciptaan lapangan kerja formal 37,95%
- GNI per capita : US$5.520