Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengungkap harga tetes tebu kian anjlok dan menyentuh Rp1.000 per kilogram.
Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen mengatakan harga normal tetes tebu semestinya berada di rentang Rp2.500–Rp3.000 per kilogram.
Berdasarkan perhitungan APTRI, Soemitro mengatakan setiap kuintal atau 100 kilogram tebu menghasilkan rata-rata 3 kilogram tetes tebu. Namun, jika harga tetes tebu turun Rp1.200–Rp2.000 per kilogram, maka petani kehilangan pendapatan Rp4.500–Rp5.000 per kuintal tebu.
“Nah sekarang ini tinggal Rp1.000 [per kilogram]. Penurunan harga tetes ini menurunkan pendapatan petani cukup banyak, karena tetes kita 3 kilogram per kuintal, kalau turun Rp1.500–2.000. Berarti penurunan kita ada sekitar 4.500 sampai 5.000 per kuintal tebu,” kata Soemitro dalam Seminar Ekosistem Gula Nasional di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Untuk itu, dia mengungkap, penurunan harga tetes tebu berdampak pada pendapatan petani tebu.
“Jadi penurunan tetes itu cukup memberikan satu dampak yang sangat tinggi bagi pendapatan petani,” ujarnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Soemitro menyampaikan tetes tebu di pabrik gula hingga saat ini belum tersentuh oleh para pembeli meski telah memberikan uang muka (down payment/DP).
Padahal, jelas dia, tetes tebu yang tak laku berbeda dengan gula. Dalam hal ini, gula yang menumpuk di dalam gudang masih bisa dipindahkan ke tempat lain.
“Kalau tetes atau molase, tidak bisa dipindah begitu saja. Molase ini bentuknya cair dan itu harus disimpan di tangki yang mempunyai spek tersendiri,” terangnya.
Bahkan, dia menyampaikan pernah terjadi peristiwa ledakan imbas molase yang disimpan terlalu lama. “Tetes itu bisa berubah bentuk Bisa menjadi panas, bisa menjadi padat, dan bahkan bisa meledak,” ungkapnya.
Para petani tebu juga mengkhawatirkan akan adanya pembebasan impor bahan baku ke dalam negeri, lantaran dibukanya keran impor tanpa persetujuan impor (PI) dan tanpa kuota.
“Maka produk yang sama yang seharusnya di sini pun berlebih, kalau ditambah impor yang 0% maka ini akan menjadi hal yang menakutkan,” tuturnya.
Di samping itu, dia juga menduga industri monosodium glutamat (MSG) kini mulai lebih banyak menggunakan bahan baku lain. Alhasil, serapan molase dari petani menurun.
“Tetes ini biasanya kan dipakai untuk bahan baku MSG. Nah apakah benar MSG ini juga menggunakan bahan baku lain, sehingga molasenya menjadi kita tidak bisa ditampung,” pungkasnya.