Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Petani Pesimistis Ekspor CPO ke Eropa Melesat Meski RI Menang di WTO

Ekspor CPO Indonesia ke Eropa diproyeksi sulit meningkat meski menang di WTO karena tantangan produksi.
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor. Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) memproyeksikan dukungan World Trade Organization (WTO) terhadap Indonesia atas sengketa biodiesel dengan Uni Eropa tidak signifikan mengungkit kinerja ekspor produk olahan kelapa sawit, termasuk crude palm oil (CPO). 

Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung mengatakan, produksi CPO saat ini secara nasional diserap untuk kebutuhan pangan hingga mandatory biodiesel. Maka, dengan produksi lokal saat ini sulit untuk meningkatkan ekspor ke Eropa.

Apalagi, Indonesia tengah berencana untuk menerapkan mandatory B50 atau campuran solar dan bahan bakar nabati (BBN) 50% tahun depan. 

"Jika B50 berjalan tahun depan, maka serapan CPO untuk energi sudah lebih besar dari food, dan dipastikan serapan domestik CPO sudah di atas 50% dari saat ini sekitar 45%," kata Gulat kepada Bisnis, dikutip Kamis (28/8/2025). 

Dari segi produksi, saat ini Indonesia memiliki luas areal kelapa sawit 16,83 juta hektare dengan produksi kelapa sawit sebesar 46,82 juta ton. 

Untuk CPO, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) memproyeksikan produksi CPO tumbuh stagnan 3% tahun ini. Total produksi minyak sawit relatif stagnan selama 5 tahun terakhir, yakni di kisaran 51,2 juta—54,8 juta ton. 

Jika menengok periode 2024, produksinya hanya mencapai 52,76 juta ton. Perinciannya, sebanyak 4,59 juta ton produksi palm kernel oil (PKO), sedangkan 48,16 juta ton produksi CPO.

"Jadi sangat miris ketika pasar semakin terbuka, serapan domestik semakin meningkat terkhusus karena implementasi B50 tahun depan yang akan menyerap 16 juta-18 juta ton CPO, tidak diiringi dengan produksi yang meningkat malah saya prediksi turun di 2025 ini," ujar Gulat. 

Proyeksi penurunan produksi ini CPO ini ditengarai sejumlah alasan. Pertama, tanaman sawit khususnya petani paling tidak sudah masuk masa replanting dan bibitnya tidak bagus (tidak hybrid) ada sekitar 3 juta hektare. 

Sementara yang berhasil ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau replanting baru berkisar 340.000 hektare sejak program ini diluncurkan pada 2017. 

"Lambatnya PSR ini karena dukungan regulasi terkait pasar negatif," imbuhnya. 

Kedua, produksi terancam turun karena harga pupuk yang mahal dan langka sejak tahun lalu. Alhasil, efeknya disebut akan terasa pada 2025-2026. 

Ketiga, kebun sawit yang disita ambil alih oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dan diserahkan ke Agrinas. Jika tidak dirawat dengan baik sesuai GAP maka akan turut menyumbang anjloknya produksi CPO Indonesia 2025.

Dalam hal ini, Apkasindo merekomendasikan sejumlah langkah untuk mendukung peningkatan produksi dan antisipasi peningkatan permintaan ekspor pascaakses pasar Uni Eropa terbuka. 

Pertama, menurut Gulat, pemerintah mesti melakukan mandatory PSR untuk kebun sawit petani yang produktivitasnya di bawah 1 ton per hektare per bulan dan rendemennya di bawah 20%. 

"Mandatory ini akan menjadi jalan tol petani untuk PSR [replanting] jangan lagi dijejali dengan persyaratan yang sangat rumit dengan segala keterbatasan petani sawit seperti selama ini sehingga serapan dana PSR yang didanai dari dana sawit BPDPKS capaiannya rerata per tahun hanya 30-40%," tuturnya. 

Kedua, percepat penyelesaian masalah klaim-klaim kawasan hutan di kebun sawit petani sehingga ada kepastian investasi petani sawit atas lahannya, termasuk wajib sertifikat bagi kebun sawit petani secara gratis.

Ketiga, segera membentuk badan otoritas sawit Indonesia (BoSI) sehingga tidak semua kementerian/lembaga mencampuri tata kelola sawit. Saat ini, tercatat 37 kementerian/lembaga mengurusi sawit. Dengan BoSI maka semua akan satu pintu yang mengurus sawit dari sektor hulu, hilir, turunan sampai ke pemasaran

"Ini penting karena sawit bukan hanya tanaman strategis Indonesia tapi sudah menjadi produk bernilai tawar global. Kita suka lupa bahwa sawit itu sangat teramat strategis karena sawit CPO bisa digunakan untuk food, energi dan oleochemical," pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro