BISNIS.COM, JAKARTA-Pemerintah diminta untuk mempublikasikan rincian biaya produksi dan margin yang diambil PT Pertamina (Persero) sebelum mengambil kebijakan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Ahmad Safruddin, Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), mengatakan selama ini pemerintah selalu membandingkan harga BBM subsidi dengan harga BBM di Singapura dan beberapa negara lain. Padahal, BBM di antara negara tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dengan BBM subsidi saat ini.
“Amerika Serikat mematok harga bensin US$2,2 per galon atau US$0,55 per liter. Itu setara dengan Rp5.000 per liter. Dengan harga yang tidak terlalu berbeda jauh itu, kualitas BBM di Amerika sudah masuk kategori 4 standar WWFC [World Wide Fuels Charter],” katanya di Jakarta, Kamis (2/5/2013).
Ahmad mengungkapkan sejak 2005 lalu kualitas BBM di dalam negeri tidak mengalami peningkatan. Bahkan, di beberapa kota kandungan sulfur dalam BBM subsidi jenis premium mencapai 500.000 part per million (PPM), Padahal, standar kandungan sulfur dalam BBM di dalam negeri hanya sekitar 200.000 PPM.
Untuk itu, Ahmad meminta penetapan harga premium dan solar harus berdasarkan harga pokok produksi. Mekanisme penghitungan itu harus mencakup biaya minyak mentah dengan mutu dan sumbernya, biaya pengolahan dan biaya overhead, serta profit margin yang wajar, serta biaya pokok impor produk BBM ditambah dengan profit margin yang wajar.
“Kalaupun pemerintah ingin menaikkan harga BBM subsidi, maka hal itu harus disertai dengan meningkatkan kualitas bensin menjadi bahan bakar yang memiliki kandungan maksimal benzene sebanyak 2,5%, aromatic 40%, olefin 20%,” jelasnya.
Selama ini penetapan harga BBM subsidi menggunakan acuan Mid Oil Plats Singapore (MOPS) yaitu harga rata-rata menurut MOPS ditambah dengan alpha sebagai profit margin bagi Pertamina. Sebagai contoh pada 2010, saat harga minyak mentah dunia pada level US$ 80 per barel, harga bensin menurut MOPS adalah Rp 5.167 per liter. Namun bensin ini merupakan kualitas RON 92 atau setara Pertamax.
Pemerintah, lanjut Ahmad, sebenarnya tidak melakukan subsidi BBM lantaran harga produksi premium RON 88 sebesar Rp 3.913 per liter ketika harga minyak mentah dunia 2010 pada level US$ 80 per barel. Sedangkan harga produksi RON 92 pada kurun waktu yang sama sebesar Rp 5.617 per liter.
Sementara itu, Lukmanul Hakim sebagai tim advokasi Warga Negara Menggugat Harga BBM menyatakan akan melayangkan gugatan kepada pemerintah dan PT Pertamina karena diduga telah memanipulasi harga BBM bersubsidi.
Selain itu kedua pihak tersebut dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena telah melakukan kebohongan publik terkait penetapan harga BBM subsidi. (mfm)