Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri rokok nasional menilai bahwa aturan dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO yang rencananya diratifikasi oleh pemerintah akan semakin ekstrem bahkan mematikan industri rokok secara perlahan.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengatakan pihaknya menolak ratifikasi tersebut karena dalam konvensi FCTC itu bukan hanya berisi pedoman bahaya rokok, tetapi semakin lama mengarah pada pelarangan mengonsumsi hingga produksi.
"Setiap setengah tahun sekali, negara-negara yang sudah menandatangai FCTC melakukan pertemuan dan menetapkan dua hal yakni protokol [larangan] dan pedoman, tetapi pada kenyataannya aturan yang dihasilkan adalah untuk mengatur strategi regulasi secara internasional guna mengendalikan konsumsi produk tembakau," katanya kepada Bisnis.com saat ditemui di kantor Gaprindo, Kamis (3/10/2013).
Saat ini sudah ada 176 negara yang menandatangani ratifikasi tersebut sejak diusulkan pada 2003 dan mulai diadopsi WHO pada 2005. Sedangkan 8 negara lainnya termasuk Indonesia hingga kini belum meratifikasi FCTC tersebut.
Moefti menjelaskan, beberapa contoh aturan yang dihasilkan oleh FCTC yakni memuat 85% gambar peringatan kesehatan dalam bungkus rokok, dan pelarangan iklan, sponsorship serta promosi.
Menurutnya, bungkus rokok tanpa menggunakan logo atau hanya berisi tulisan merek dan gambar peringatan kesehatan akan menyulitkan produsen untuk memperkenalkan rokok baru dalam perdagangan internasional.
"Yang lebih ekstrim lagi, jika ada larangan memajang displai rokok di toko secara umum," katanya.
Australia merupakan salah satu negara yang sudah menerapkan bungkus rokok tanpa logo dan 80% berisi gambar peringatan kesehatan.
Sedangkan negara-negara di Uni Eropa dikabarkan juga akan menerapkan konsep yang sama, hanya saja masih menunggu kondisi karena mendapat tentangan dari produsen rokok di sana.
"Secara tidak langsung hal ini [aturan ratifikasi] mendorong pengurangan penanaman tembakau. Ini yang paling ekstrim," katanya.
Moefti mengungkapkan sekitar 3 tahun lalu, terdapat 3.000-an industri rokok baik skala kecil maupun besar. Namun, sejak ada peraturan Kementerian Keuangan yang mengharuskan industri rokok memiliki minimal luas lahan 200 m2, jumlah industri rokok pun berkurang.
"Jadi banyak industri rokok skala rumah tangga yang mampu memproduksi 300 juta batang/tahun [per pabrik] kini hilang dan jumlahnya menyusut, mungkin sekarang sekitar 1.500 pabrik," ujarnya. (ra)