Bisnis.com, JAKARTA--Buruknya kehidupan buruh pada perusahaan kelapa sawit dinilai sama dengan perbudakan modern akibat eksploitasi secara sistematis oleh pemilik modal.
Hal itu disampaikan dalam pernyataan bersama Forest Peoples Programme (FPP), Rainforest Action Network (RAN) dan Sawit Watch.
Menurut mereka, eksploitasi itu terjadi secara sistematis sejak pada rekrutmen, sistem kerja, hubungan kerja, struktur perusahaan hingga minimnya fasilitas kerja.
Eksploitasi ini semakin terbuka lebar karena posisi kuat pengusaha dalam perkebunan. Usaha perkebunan adalah usaha yang menguasai teritori puluhan ribu hektar
"tanah. Pengusaha memiliki kekuasaan penuh atas teritori ini," demikian ketiga lembaga sipil tersebut di Jakarta, Senin (28/10/2013).
Mereka menuturkan salah satu bentuk eksploitasi yang terjadi adalah di perkebunan Sumatra Utara. Misalnya pada musim buah trek (buah kelapa sawit yang layak dipanen namun dalam jumlah kecil), perusahaan memberlakukan sistem 7 jam kerja serta sistem target (borongan).
Walaupun sudah mencapai 7 jam, namun target belum tercapai, maka buruh belum diperbolehkan pulang.
Selain itu, jika buah banjir (buah kelapa sawit yang layak dipanen dalam jumlah banyak), perusahaan pun menerapkan hal serupa.
Jika target tercapai namun belum mencapai 7 jam kerja, buruh pun tak diperbolehkan pulang.
"Posisi buruh perkebunan sangat lemah karena menggantungkan hidup sepenuhnya pada perkebunan. Dapat dibayangkan bagaimana dia mengalami eksploitasi yang sangat tinggi, baik pekerjaan maupun pribadi," kata tiga lembaga tersebut.
Hal itu disampaikan terkait dengan lokakarya selama tiga hari tentang kondisi buruh perkebunan. Baik FPP, RAN dan Sawit Watch juga memproyeksi nasib buruh yang menjadi massa mengambang menjelang Pemilihan Umum 2014.
Menurut mereka, mereka berpotensi untuk diekpsploitasi secara politik oleh perusahaan dan partai politik tertentu. (ra)