Bisnis.com, JAKARTA - Industri baja nasional masih melemah karena belum pulihnya pasar baja di luar negeri, sehingga berpengaruh terhadap pasar dalam negeri.
Harga baja dunia turun 8% menjadi US$600 per ton pada September 2013 dibandingkan dengan Agustus sebesar US$605 per ton.
"Harga baja masih akan tertekan, seiring dengan kelebihan kapasitas yang sangat kronis di China yang merupakan negara dengan industri baja terbesar di dunia," ujar pengamat ekonomi Reza Priyambada, Kamis (31/10).
Berdasarkan data yang dirilis Middle East Steel, lembaga riset baja Timur Tengah, harga baja canai panas (hot rolled coil/HRC) yang selama ini menjadi acuan belum mampu menembus US$700 per ton, padahal merupakan harga tertinggi dalam setahun terakhir.
Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Pabrik Paku dan Kawat Indonesia (Ippaki) Ario N Setiantoro menilai kejatuhan harga baja di pasar global menekan harga baja domestik. Ini diperparah dengan derasnya arus impor produk baja hulu dan hilir.
"Harga produk hilir seperti paku dan kawat cenderung turun dibanding tahun lalu. Saat ini, harga paku berkisar Rp 9.000-9.500 per kilogram (kg), sedangkan kawat Rp 7.500-9.000 per kg," ujarnya.
Dia menyatakan permintaan baja di pasar domestik sebenarnya masih tinggi, didorong geliat proyek infrastruktur dan properti. Namun, produsen baja lokal tidak bisa sepenuhnya menikmati lonjakan permintaan, karena harus bersaing dengan produk impor dengan harga lebih murah, terutama dari Tiongkok.
Berdasarkan riset Macquarie, bank investasi yang berkantor pusat di Australia, sebanyak 86 produsen baja Tiongkok yang tergabung dalam China Iron & Steel Asscociation (CISA) membukukan kerugian sebesar US$113 juta hingga Juni tahun ini.
Bahkan, Arcelor Mittal, produsen baja terbesar dunia ini yang beroperasi di Eropa, melaporkan kerugian sebesar US$1,1 miliar selama semester I 2013. Hal ini dipicu tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang (utilisasi) yang rendah.
Mcquarie menilai, dalam 3-5 tahun ke depan, harga baja masih tertekan. Sementara itu, pasokan bahan baku utama, iron ore pellet diprediksi turnbuh, tetapi masih di bawah harapan para pelaku industri baja.
Di sisi lain, Macquarie Commodities Research dalam laporannya yang dirilis belum lama ini menyimpulkan, harga baja domestik akan mengikuti harga regional. Pasar baja Indonesia bakal diserbu produk impor yang efeknya menekan harga baja buatan lokal.
World Steel Dynamic (WSD), lembaga penelitian dan investigasi khusus baja, memperkirakan prospek laba bersih perusahaan baja dunia tetap negatif hingga tahun depan.
Reza menambahkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat membuat tekanan kepada industri baja lokal kian besar.
"Margin laba industri baja domestik tergerus. Tidak hanya itu, industri baja lokal juga harus menanggung beban kenaikan harga energi dan upah buruh," tegas Reza.
Sebenarnya belum membaiknya industri baja nasional sudah dapat dirasakan sejak semester II, hal ini akan terus berlangsung sepanjang harga baja belum mengalami perbaikan.
Menurut Reza, agar kinerjanya tidak terlalu jeblok maka industri baja nasional harus meningkatkan volume penjualan dengan melakukan berbagai terobosan pemasaran, dengan mencari pelanggan-pelanggan baru.
Solusinya di antaranya dengan menggandeng pelaku di bidang konstruksi dan infrastruktur, sehingga penjualan produk mereka menjadi lebih optimal meskipun hal itu sulit untuk dapat dilakukan dalam waktu dekat.
"Selain itu industri baja nasional diharapkan mulai melakukan diversifikasi usaha, sehingga tidak mengandalkan kepada industri baja saja, tetapi juga pelabuhan, pembangkit listrik, dan sebagainya," ujar Reza.