Bisnis.com, JAKARTA - Sekitar sebulan yang lalu, 75 pelaut Indonesia dipulangkan dari Cape Town, Afrika Selatan.
Harapannya, setibanya di Tanah Air, semua masalah yang dihadapi kelihatannya akan beres. Namun kenyataannya, persoalan yang membelit mereka, yakni gaji yang tidak dibayar selama bekerja di kapal perikanan Taiwan, hingga kini belum jelas.
Para pelaut yang sebagian besar berasal dari daerah Pantai Utara Jawa itu bekerja di 7 kapal perikanan dengan kontrak kerja rata-rata 3 tahun. Bahkan ada yang sudah bekerja sampai 5 dan 7 tahun. Gajinya antara US$170 – 350 per bulan, tergantung jenis pekerjaannya.
Namun mereka rata-rata hanya menerima gaji selama 4 bulan pertama. Sampai dipulangkan ke Tanah Air, sisa gajinya belum dibayar hingga saat ini.
Nasib mereka sangat menyedihkan. Selama beberapa bulan mereka ditelantarkan setelah kapalnya ditangkap dan ditahan di Cape Town karena melakukan illegal fishing di perairan Afrika Selatan.
Mereka ditahan oleh Imigrasi di Cape Town sejak 1 Desember 2013. Atas kerjasama KBRI di Pretroria-Afsel, Konsul RI di Cape Town dan didanai pemerintah Afsel, ke-75 pelaut itu dipulangkan ke Tanah Air pada 18 Februari 2014.
President DPP Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi, mengatakan para pelaut yang dipulangkan ke Tanah Air itu hingga kini belum menerima hak-haknya dari perusahaan.
"KPI telah menghubungi para pelaut tersebut dan beberapa dari mereka menyatakan hanya menerima US$100/orang dari agen yang merekrutnya. Selebihnya menyatakan belum pernah menerima pembayaran apapun," ujarnya melalui siaran pers KPI, hari ini, Kamis (3/4).
Dia mengatakan terkatung-katungnya masalah 75 pelaut perikanan itu, akibat lambannya pemerintah, yakni Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), yang tidak segera menuntut tanggung jawab agen/perusahaan yang merekrut pelaut untuk ditempatkan di kapal perikanan Taiwan. Pasalnya, 13 agen itu telah menandatangani pernyataan untuk membayar semua hak pelaut yang tidak dibayarkan oleh perusahaan/pemilik kapal Taiwan.
“Sebagai lembaga pemerintah yang berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada WNI- termasuk pelaut, BNP2TKI punya kewenangan untuk melakukan upaya paksa dan bertindak tegas dalam menyelesaikan masalah ini. Jangan menunggu laporan dari agen. Dan bila perlu segera mempolisikan agen-agen yang tidak bertanggung jawab itu,” paparnya.
Menurut Hanafi, masalah yang dihadapi pelaut ini termasuk kasus pidana. Karena itu, polisi bisa langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan, tidak perlu menunggu laporan dari pelaut yang menjadi korban.
Dalam kasus ini, dia juga mengingatkan adanya pelanggaran terhadap pasal 135 dan 145 UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 310 dan 312 undang-undang tersebut, yang menyebutkan bahwa agen/perusahan yang mempekerjakan pelaut tidak sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan, buku pelaut tidak disijil dan tidak memiliki dokumen pelaut yang sah, dapat diancam hukuman penjara maksimal 2 tahun dan denda Rp300 juta.
Pelanggaran itu antara lain, pelaut yang direkrut tidak memiliki Sertifikat Keterampilan Pelaut (BST), tidak dilengkapi dengan PKL (Perjanjian Kerja Laut) yang disahkan Ditjen Perhubungan Laut, dan Buku Pelautnya juga tidak disijil. “PKL dan buku pelaut yang ada hampir semuanya palsu atau asli tapi palsu, karena tidak ada pengesahan dari pejabat yang berwenang,” ujarnya.
Hanafi juga mempertanyakan kenapa pemerintah RI terkesan pasif dengan tidak menyelidiki dan memprotes pemerintah Taiwan karena kapal-kapal perikanan Taiwan yang tertangkap di Afrika Selatan itu seenaknya menggunakan bendera Indonesia.
Dia mengatakan, tujuh kapal perikanan Taiwan yang mempekerjakan 75 pelaut Indonesia itu sering mengganti bendera di laut lepas.
Hanafi mempertanyakan apakah kapal-kapal ikan Taiwan yang menggunakan bendera Indonesia itu sudah melalui prosedur dan telah terdaftar di Kementerian Perhubungan.
“Khusus untuk kapal perikanan, penggantian bendera asing ke Indonesia disahkan oleh Kementerian Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan,” ujarnya.
Ke-7 kapal Taiwan itu, kata Hanafi, sebelumnya bernama Hoom Xiang No.07, 19, 20, 26, 32, 34 dan 36, kemudian berubah menjadi KM. Bahari Nusantara No. 19, 5, 26, 83, KM Bintang Samudera 11, KM Mahkota Abadi 15, dan KM Samudera Golintas 231. Dengan menggunakan bendera Indonesia, kapal-kapal tersebut pernah beroperasi di Indonesia atas nama perusahaan perikanan di Indonesia, yaitu PT Bina Nusa Mandiri Pertiwi, beralamat di Jl. Raya Tandurusa, Bitung, Sulawesi Utara.
Kapal-kapal tersebut juga pernah menggunakan bendera Malaysia saat dioperasikan oleh Hoom Xiang Industries Sdn. Bhd. beralamat di Warehouse No. 1&2, Pelabuhan Lkim Batu Maung, Kompleks Pendataran Tuna Bukit Maung, Batu Maung, Pulau Penang, Malaysia.
"Namun saat tertangkap di Afrika Selatan, ke-7 kapal itu menggunakan bendera Taiwan,"ujarnya.(K1)
Hak Pelaut Kapal Taiwan Masih Terkatung-Katung
Sekitar sebulan yang lalu, 75 pelaut Indonesia dipulangkan dari Cape Town, Afrika Selatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Akhmad Mabrori
Editor : Martin Sihombing
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
3 jam yang lalu