Bisnis.com, JAKARTA—Tidak hanya inflasi harga pangan pokok, kenaikan harga produk manufaktur di tengah tren depresiasi rupiah saat ini kian tak terhindarkan. Salah satunya dipicu oleh tingginya ketergantungan industri domestik terhadap bahan baku impor.
Kalangan pengusaha dari lini industri papan, pangan, dan sandang mengaku tengah berancang-ancang menyesuaikan harga ke tingkat konsumen, akibat semakin mahalnya biaya impor bahan baku yang berbanding lurus dengan pembengkakan ongkos produksi.
Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga, misalnya, mengaku pelemahan nilai tukar rupiah telak memukul industri keramik untuk kebutuhan properti, karena sebagian besar bahan baku untuk pewarna masih didatangkan dari luar negeri.
“Indonesia belum siap memasok sendiri. Biaya untuk bahan baku ditambah biaya energi saja sudah mencakup 65% dari total biaya produksi. Depresiasi rupiah jelas memberatkan sekali. Sejak akhir 2012 hingga sekarang, rupiah sudah melemah 25% lebih,” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (2/7/2014).
Dia mengungkapkan pengusaha keramik tengah melakukan efisiensi di segala bidang, terutama di tengah sepinya bisnis properti saat ini.
“Untuk awal-awal ini kami belum mampu menaikkan harga, tapi dalam jangka panjang perlahan-lahan pasti akan kami [naikkan] harga di tingkat konsumen.”
Menurut Elisa, untuk banting setir ke pasar ekspor pun tidak mudah, karena produk keramik Indonesia—yang mayoritas masih menyasar pasar Asean—kalah bersaing dengan produk China. Depresiasi dinilainya tidak terlalu memberi insentif bagi ekspor keramik.
Kondisi serupa juga dialami industri makanan dan minuman (mamin) olahan, yang mengimpor bahan baku gula rafinasi, jus, jagung, dan terigu sekitar US$3 miliar/tahun. Padahal, ekspor mamin olahan ditarget tumbuh 4,21% (US$183,2 juta) tahun ini.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengaku kondisi itu membuat industri mamin rentan terhadap depresiasi rupiah. Agar margin mereka tidak tergerus lonjakan ongkos produksi, kenaikan harga jual terpaksa dieksekusi.
Oleh karena itu, ungkapnya, para produsen mamin olahan berencana menaikkan harga produk mereka antara 10%-15% tahun depan. Pasalnya, kurs yang digunakan oleh pengusaha mamin saat ini masih berkisar antara Rp11.000-Rp11.500 per dolar Amerika Serikat.
Dengan total nilai impor produk konsumsi dan bahan baku mamin sekitar US$6 miliar/tahun, pelemahan nilai tukar 10% saja akan mengerek biaya produksi secara signifikan.
Namun, tidak semua pengusaha mamin langsung meresponsnya dengan menaikkan harga tahun ini. “Kami masih wait and see, apalagi kalau Amerika jadi mengurangi program stimulus moneternya,” jelasnya.