Bisnis.com, JAKARTA—Kinerja ekspor sepatu selama semester I/2014 mengalami penurunan sekitar 5,5% terhadap periode yang sama pada tahun lalu. Kendati demikian pebisnis tetap optimistis sepanjang tahun ini ekspor bakal tumbuh sekitar 8%.
Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mencatat selama enam bulan pertama tahun ini ekspor sepatu berkisar US$1,7 miliar. Untuk periode yang sama pada tahun lalu menyentuh level US$1,8 miliar. Tapi pada penghujung tahun ekspor diyakini mampu mencapai US$4,18 miliar.
Sekretaris Jenderal Aprisindo Binsar Marpaung mengatakan selama semester I/2014 terjadi kisruh soal penetapan upah minimum provinsi (UMP). “Masalah ini lamban diselesaikan karena politisasinya cukup tinggi,” tuturnya, di Jakarta, Rabu (13/8/2014).
Selain perkara upah buruh, industri persepatuan dan alas kaki secara umum merasakan tekanan bisnis lebih berat lantaran tarif dasar listrik (TDL) pelanggan golongan industri naik. Harga setrum ini naik sejak Mei 2014 sebesar 38,9% untuk I-3 (di atas 200 kVA) dan 64,7% untuk pelanggan I-4 (di atas 30.000 kVA).
Aprisindo berharap pemerintahan baru dapat meningkatkan kepercayaan investor sehingga realisasi investasi industri sepatu tumbuh. Hal ini diharapkan memberikan dampak positif terhadap prouktivitas sehingga kinerja eksporpun terdongkrak.
Kini utilisasi produksi pabrik sepatu baru sekitar 70% - 80%. Pasalnya produktivitas industri terkendala impor ilegal dari China. "Kalau kita terus perbaiki kualitas, lama-lama konsumen juga tau [mana yang lebih baik] karena mereka mulai kejar kualitas," kata Binsar.
Aprisindo memperkirakan akan ada penaikan nilai impor sepatu hingga 10% pada tahun ini dari US$435 juta pada 2013. Selain serangan dari China, industri persepatuan juga mesti bersiap menghadapi gempuran impor dari Vietnam, Kamboja, dan Myanmar.
Sepanjang tahun lalu industri persepatuan di dalam negeri mampu memenuhi sekitar 3% kebutuhan alas kaki di dunia. Persentase ini sejalan dengan nilai ekspor sepatu mencapai US$3,86 miliar.
Kemenperin memproyeksikan ekspor sepatu tumbuh 7% pada 2015. Sampai dengan 2019 pendapatan ekspor ditargetkan mencapai US$11,6 miliar. Pelemahan pasar Amerika Serikat mendorong pelaku industri mencari pasar ekspor lain.
"Kami juga mencari pasar ekspor baru selain Amerika dan Eropa, seperti Timur Tengah, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Afrika," ujap Dirjen Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian Euis Saedah.