Bisnis.com, JAKARTA—Badan Pengelola REDD+ (Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation/ Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) bekerjasama dengan PUSTANLING (Pusat Standarisasi Lingkungan dan Perubahan Iklim) Kementerian Kehutanan RI mengadakan workshop selama dua hari untuk memperkuat modalitas, komunikasi dan koordinasi Jejaring tersebut agar mampu berkontribusi nyata dalam pengambilan keputusan dan penerapan operasional program REDD+ di Indonesia.
Hal ini dimaksud guna meningkatkan kontribusi lembaga ilmiah sebagai ‘think tank’ dan ‘hub’ informasi serta komunikasi’ dari berbagai hasil penelitian dan pelaksanaan pendidikan di bidang kehutanan dan perubahan iklim.
Deputi Tata Kelola dan Kelembagaan BP REDD+ Nur Masripatin menuturkan, Rabu (13/8/2014) workshop ini memiliki tiga tujuan utama.
Pertama, memutakhirkan berbagai informasi bidang penelitian kehutanan dan perubahan iklim dan mengidentifikasi area kerjasama dan sinergi program Jejaring, BP REDD+, Kementerian Kehutanan RI dan pihak terkait lainnya.
Kedua, menyepakati modalitas organisasi dalam rangka meningkatkan efektivitas kerja Jejaring. Ketiga, menyelesaikan program/kegiatan bersama Jejaring yang telah disusun sebagai agenda bersama dengan mempertimbangkan masukan hasil diskusi yang terjadi.
Peningkatan peran lembaga-lembaga tersebut juga diamanahkan dalam Konvensi Perubahan Iklim, dan isu terkait riset dan pendidikan telah menjadi agenda tetap dalam COP dan badan-badan lainnya di lingkungan UNFCCC. Jejaring yang dibentuk PUSTANLING ini telah melahirkan sebuah wadah di tingkat nasional dan tujuh kawasan di Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo menegaskan telah terjadi perubahan paradigma dari ahli kehutanan (forester) dari tahun 1960an sampai sekarang. Paradigma lama menggambarkan bahwa hutan adalah ranah pekerjaan pemerintahan (berbasis negara), di mana terdapat unsur-unsur (seperti politik dan ekonomi) yang dapat merusak kelestarian hutan. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan inisiatif untuk mengelola hutan dengan cara yang baik.