Bisnis.com, JAKARTA—Produsen mainan anak meramalkan bisnis pada tahun depan bisa tumbuh 30 - 40% terhadap pencapaian tahun ini.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Mainan Indonesia (API) Eko Wibowo mengatakan potensi peningkatan penjualan itu sebetulnya hanya mengembalikan bisnis ke level normal.
Sepanjang tahun ini produsen mainan mengeluhkan pelemahan bisnis hingga 40%.
"[Pada 2015] mainan impor sudah mulai susah masuk dan yang biasanya macamnya banyak itu jadi berkurang, lalu ini akan diisi oleh produsen lokal," tuturnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (21/11/2014).
Penurunan penjualan mainan pada tahun ini terpengaruh beberapa hal, seperti pelemahan kurs rupiah, gejolak politik sebelum dan setelah pilpres, serta penyesuaian diri produsen terhadap kebijakan standar nasional Indonesia (SNI).
Namun saat ditanya lebih detil mengenai realisasi penjualan yang tercapai sepanjang tahun ini, API tak bisa memberikan angka. Yang pasti perkembangan bisnis mainan sejalan dengan jumlah kelahiran anak.
Kemungkinan besar nilai omzet industri mainan saat ini di atas Rp500 miliar per tahun. Pada awal 2000-an saja dari satu department store yang berisi sekitar 60 penjualan mainan omzetnya mencapai Rp450 miliar.
Eko mengatakan perkembangan penjualan mainan selain terdorong jumlah kelahiran anak juga terpengaruh tren global. Rerata produk mainan hanya bertahan sekitar dua hingga tiga bulan. Umurnya bisa lebih lama kalau ada tren tertentu, seperti film, yang membuat produk tertentu melejit.
"Sekarang kelahiran sekitar 4,5 juta per tahun, ini potensi pasar baru. Anak berusia 0 sampai 6 bulan sekitar 32 juta, itu pasti butuh mainan. Sedangkan anak 7 sampai 12 tahun sekitar 37 juta orang," ujar dia.
Produsen mainan domestik berharap SNI dapat memperlonggar ketatnya persaingan dengan produk-produk impor kelas atas maupun menengah. Pasalnya importir harus merogoh kocek lebih banyak sesuai jumlah item mainan yang diimpor.
Uji laboratorium produk dapat dilakukan di luar negeri dengan biaya sekitar dua hingga tiga kali lipat dari ongkos di dalam negeri.
Pengujian di Indonesia sekitar Rp3 juta per produk, sedangkan di luar negeri bisa mencapai Rp6 juta.
Sementara itu bagi produsen domestik keluhan yang hingga kini terdengar tetap soal jangka waktu proses sertifikasi yang bisa lebih dari dua bulan.
Selain itu ada pula yang merasa terbebani dengan biaya sertifikasi relatif mahal.
"SNI ini ada dua pandangan, pertama produk impor jadi sulit masuk karena banyak biayanya sehingga harga naik. Kedua jumlah barang mulai dibatasi dengan produk yang kualitasnya bagus," ucap Eko.
November 2014 merupakan batas akhir kelonggaran bagi produsen mainan untuk memproses SNI.
Produk-produk mainan yang ditemukan tak berlabel SNI selepas bulan ini akan dikenai sanksi normatif bukan sekadar peringatan saja.