Bisnis.com, JAKARTA - Riset terbaru mengungkapkan 25 grup bisnis di sektor perkebunan sawit turut bertanggung jawab atas terjadinya dugaan perampasan lahan, pelanggaran hak ekonomi masyarakat di Indonesia seiring ekspansi perusahaan di sektor tersebut.
Riset berjudul Tycoon in the Indonesian Palm Oil menyatakan ekspansi luar biasa perkebunan kelapa sawit di Tanah Air menciptakan masalah lingkungan dan sosial secara serius. Riset itu dikerjakan secara bersama oleh Profundo, yang berbasis di Amsterdam dan Transformasi untuk Keadilan Indonesia di Jakarta.
Penelitian itu memaparkan area yang dijadikan perkebunan sawit meningkat sekitar 35% dari 7,4 juta hektare pada 2008 menjadi sekitar 10 juta hektar pada 2013. Sebanyak 25 grup bisnis milik taipan itu memiliki kendali atas 5,1 juta ha kebun sawit—dengan 3,1 juta hektar telah ditanami—berdasarkan laporan tahunan perusahaan. Perusahaan itu sebagian besar tercatat di Bursa Efek, baik di Jakarta, Kuala Lumpur, London maupun Singapura.
"Sekelompok kecil konglomerat menjadi penentu bagi pengembangan sektor kelapa sawit," kata Rahmawati Retno Winarni, Direktur Program TuK Indonesia dalam peluncuran riset itu, Kamis (12/02/2015). "Mereka ikut bertanggung jawab atas pelanggaran HAM, perampasan lahan, konflik sosial petani kecil."
Dia menuturkan pemerintah harus mengakui bahwa kerusakan hutan secara berkesinambungan dan hilangnya hak tanah oleh masyarakat, disebabkan oleh ekspansi perkebunan sawit.
Hal yang kontras, sambungnya, para pemilik perusahaan justru diduga memarkir dana kekayaan mereka di negara surga pajak dan memperkuat cengkraman bisnis sawit di Tanah Air. Indonesia saat ini adalah produsen minyak sawit mentah pertama dunia dengan total produksi mencapai 26 juta ton, yang diperkirakan meningkat hingga 32 juta ton pada 2015.
Riset itu juga memaparkan peranan penting lembaga keuangan nasional maupun asing yang memperkuat ekspansi perusahaan. Oleh karena itu, sambung Winarni, lembaga keuangan harus memperkuat kebijakan risiko sosial dan lingkungan sebelum memberikan fasilitas pendanaan ke perusahaan kelapa sawit.
Wilayah yang dikontrol perusahaan-perusahaan itu mencakup Kalimantan (62%), Sumatra (32%), Sulawesi (4%) dan Papua (2%). Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Timur adalah provinsi dengan penguasaan cadangan lahan terbesar para taipan.
Bisnis grup yang diteliti dalam riset itu mencakup Anglo Eastern Group; Austindo Group; Bakrie Group; Batu Kawan Group; BW Plantation Group; Darmex Agro Group; DSN Group; Genting Group; Gozco Group; Harita Group; IOI Group; Jardline Matheson Group; Kencana Agri Group; Musim Mas Group; Provident Agro Group; Raja Garuda Mas Group; Salim Group.
Lainnya adalah Sampoerna Group; Sinar Mas Group; Sungai Budi Group; Surya Dumai Group; Tanjung Lingga Group; Tiga Pilar Sejahtera Group; Triputra Group dan Wilmar Group.
PROSEDUR HUKUM
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriono mengatakan masalah penguasaan lahan tidak sama sekali berhubungan dengan masalah HAM, melainkan prosedur hukum. Menurutnya, perusahaan yang memiliki lahan sudah memiliki aturan tersendiri.
"Tidak ada hubungannya dengan HAM, karena aturan lahan untuk kepemilikan lahan sudah jelas," paparnya ketika dikonfirmasi melalui telepon, Kamis (12/2/2015). "Ketika ada yang keberatan, perusahaan pun memiliki prosedur sendiri untuk menyelesaikan masalah itu, misalnya dengan dialog dan negosiasi untuk kompensasi."
Dia mengatakan struktur kepemilikan lahan sekitar 42% dimiliki oleh petani, sedangkan 58% itu dimiliki perusahaan negara maupun swasta. Joko mengungkapkan perusahaan besar kelapa sawit dibutuhkan karena memiliki sumber daya, teknologi dan modal yang kuat.
Menurut Joko, riset yang dilakukan seharusnya juga dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga tak melihat dari satu sisi tertentu saja. Terkait dengan lahan, paparnya, jalan yang bisa ditempuh terakhir adalah melalui jalur hukum.
"Prosedurnya adalah dialog bilateral untuk negoisasi, jika tak berhasil maka dilakukan mediasi oleh pemerintah," katanya. "Namun jika ini gagal, maka yang bisa ditempuh adalah melalui jalur hukum."
Dia menuturkan ekspansi perusahaan sawit berkaitan dengan penggunaan minyak nabati untuk kebutuhan pangan. Masalahnya, minyak nabati juga menjadi produk kompetisi dari produsen minyak serupa tetapi yang bukan berasal dari sawit.