Bisnis.com, JAKARTA - Minimnya ketersediaan bahan baku dan pendukung menjadi hambatan kalangan industri keramik meningkatkan kinerja ekspor dengan sasaran produk premium.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga mengatakan pasokan bahan baku yang melimpah di dalam negeri adalah red clay, sementara itu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk premium menggunakan white clay.
“Dalam material clay, untuk menghasilkan produk premium maka wajib menggunakan white clay. Di Indonesia yang berlimpah hanya red clay,” tuturnya kepada Bisnis.com.
Selain clay, komponen penting yang wajib dihadirkan adalah pewarna dan gas yang juga digunakan sebagai bahan baku. Menurutnya, penggunaan bahan baku bervolume besar belum tentu memiliki nilai yang tinggi juga.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian tentang profil industri keramik nasional yang jumlahnya 62 perusahaan itu mayoritas perusahaan berkecimpung dalam industri ubin atau sebanyak 42 perusahaan.
Selain itu, diikuti industri tableware dengan 14 perusahaan, sanitari 3 perusahaan, refractory 2 perusahaan dan insulating fire bricks 1 perusahaan.
Kebutuhan bahan baku industri keramik diperkirakan mencapai 5,375 juta ton per tahun, yang distribusikan dari kebutuha pasir kuarsa, tanah liat, felspar, dan kaolin. Untuk produksi ubin per tahun dibutuhkan sedikitnya 5,23 juta ton bahan baku, saniter 66.800 ton dan tableware 76.571 per tahunnya.
“Kesiapan industri mengeluarkan biaya produksi yang lebih besar untuk menghasilkan produk premium guna berdaya saing memang masih dinanti. Akan tetapi, tetap sulit berdaya saing kalau harga energi kita masih jauh dibandingkan dengan negara lain,” katanya.
Dengan minimnya pasokan white clay nasional, wajar saja jika industri keramik mengarahkan diri pada pasar produk kelas menengah. Dari total produksi 470 juta meter persegi pada tahun lalu, hanya 11% terserap untuk kebutuhan pasar ekspor. []