Bisnis.com, BANDUNG -- Industri Kakao di Indonesia saat ini mengalami defisit pasokan kakao, hal ini menjadi kendala mengingat kapasitas pengolahan yang semakin besar.
Ketua Asosiasi Pengusaha Industri Kakao Dan Cokelat Indonesia (APIKCI) Sony Satari mengatakan akibat kurangnya pasokan kakao dalam negeri beberapa industri harus mengimpor biji kakao dari Ghana.
Pasalnya, hasil industri juga harus dikirim ke luar negeri sebagai barang ekspor, dan memang kualitas dari Ghana yang dibutuhkan.
"Biji kakao impor tersebut sangat dibutuhkan untuk keperluan banyak produk, seperti susu," ujar Sony kepada Bisnis, Kamis (9/4/2015).
Sony menjelaskan selama ini impor biji tersebut mencapai kisaran 25.000 ton per tahun. Namun, ada kemungkinan penambahan impor untuk tahun ini karena semakin berkurangnya produktivitas petani kakao.
Dia menambahkan kakao yang dibutuhkan dari Ghana tersebut berupa kakao slever khusus, baik dalam bentuk butter (margarin) atau bubuk.
Industri kakao di Indonesia mengalami kesulitan pasokan akibat produktivitas petani kakao yang menurun. Rupanya, penurunan tersebut akibat ramainya investasi dari pihak asing.
"Mereka berinvestasi untuk bisa dibawa keluar dari Indonesia ke negara asalnya. Sebut saja salah satunya Malaysia," ujarnya.
Dia melanjutkan banyak investor asal Malaysia yang membuat pabrik di Indonesia, lalu hasilnya dikirim ke induk perusahaan mereka. Selain itu mereka juga mengekspor ke negara lain.
Sony tidak mengetahui angka pasti investor asing yang berkuasa untuk industri kakao saat ini, namun hal ini cukup merugikan industri di dalam negeri.
Selain itu, industri kakao di Indonesia saat ini mengalami kesulitan dalam pemenuhan gula rafinasi akibat pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan impor row sugar untuk pembuatannya.
"Kita harus paham, gula merupakan 50% kandungan cokelat yang dijual di dalam negeri. Masyarakat Indonesia belum bisa makan cokelat pahit," ujarnya.
Sementara itu, Koordinator National Reference Group on Kakao Jawa Barat Iyus Supriatna meminta pemerintah secara intensif menerapkan sistem sambung untuk meningkatkan produktivitas kakao daerah itu.
Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 67 Tahun 2014 tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao yang mengisyaratkan kewajiban petani atau kelompok tani melakukan fermentasi sebagai upaya peningkatan kualitas biji kakao nasional.
Koordinator NRG on Kakao Jabar Iyus Supriatna mengatakan keunggulan sistem sambung samping yakni lebih cepat berbuah dibanding peremajaan tanaman.
"Petani hanya membutuhkan waktu paling lama 1 hingga 1,5 tahun untuk memanen kakaonya," katanya.
Namun, katanya, jika pemerintah melakukan peremajaan produksinya bisa lima tahun.
Iyus menyebutkan saat ini produktivitas kakao di kawasan itu hanya menghasilkan 500 kuintal kakao per hektare. Namun, jika diterapkan sistem sambung produktivitas kakao bisa mencapai 1 hingga 1,5 ton per ha.
Pasokan Kakao untuk Industri Defisit
Industri Kakao di Indonesia saat ini mengalami defisit pasokan kakao, hal ini menjadi kendala mengingat kapasitas pengolahan yang semakin besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Adi Ginanjar Maulana/Afif Permana
Editor : Martin Sihombing
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
30 menit yang lalu