Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia meminta Uni Eropa mengecualikan kopi dan kakao dari Undang-undang antideforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR) yang mengharuskan pemisahan antara kawasan hutan dan perkebunan.
Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera menyampaikan, permintaan tersebut disampaikan pemerintah Indonesia dalam dalam dialog bilateral.
Dida mengatakan kebijakan ini menjadi tantangan bagi para petani yang kerap melakukan budidaya kopi dan kakao dalam kawasan hutan atau agroforestri.
Dia mencontohkan, 23% perkebunan kopi di Pulau Jawa yang dikelola oleh Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) berada dalam kawasan hutan. Pasalnya, kata dia, kopi dapat tumbuh baik bila berada di bawah naungan pepohonan di kawasan hutan.
“Jadi memang, cara budidayanya kan seperti itu, agroforestry,” kata Dida ketika ditemui di sela-sela diskusi ‘Step by Step Journey of EUDR: Burden or Benefit?’ di Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025).
Melihat cara budidaya kedua komoditas ini, menurutnya tidak tepat jika kopi dan kakao masuk dalam regulasi EUDR. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah meminta Uni Eropa mengecualikan kedua komoditas ini dari kebijakan EUDR.
Baca Juga
“Kita minta di-exclude. Jadi untuk smallholder kopi dan kakao kita, kita minta mereka enggak menggunakan metodologi EUDR itu. Itu mudah-mudahan juga ada respon dari mereka [Uni Eropa],” tutur Dida.
Dida mengatakan, permintaan tersebut telah disampaikan pemerintah dalam pertemuan bilateral dengan Uni Eropa pada 4 Juni 2025 di Brussel, Belgia.
Pertemuan itu juga dimanfaatkan pemerintah Indonesia untuk menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis kepada pihak Uni Eropa. Dida menyebut, pihak Uni Eropa berjanji untuk memberikan jawaban secara tertulis.
Melansir laman resmi Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Indonesia dan Uni Eropa menggelar dialog bilateral untuk membahas regulasi EUDR pada Juni 2025 di Brussel, Belgia.
Kesempatan itu dimanfaatkan pemerintah Indonesia untuk menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis guna meminta klarifikasi mengenai dasar hukum dan metodologi klasifikasi risiko, pengakuan terhadap sistem legalitas nasional, potensi ketidaksesuaian dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), serta beban administratif terhadap petani kecil terkait kewajiban geolokasi dan pelacakan digital.
Pihak Uni Eropa menyatakan komitmennya untuk memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan tersebut dalam waktu dekat.
Indonesia juga menyayangkan penetapan EUDR yang dilakukan secara sepihak tanpa ada konsultasi terlebih dahulu dengan negara-negara produsen.
Bagi Indonesia, aturan ini dapat merugikan lebih dari 8 juta petani kecil di Indonesia, mengganggu rantai pasok, dan menciptakan hambatan baru dalam perdagangan global.
Untuk diketahui, EUDR menjadi regulasi pertama di dunia yang menargetkan berakhirnya 10% deforestasi global yang dipicu oleh konsumsi dan impor kawasan tersebut atas produk-produk agrikultur dan kehutanan seperti kedelai, daging, minyak sawit, kakao, kopi, hingga timber.
Kebijakan EUDR akan berlaku pada akhir 2025 untuk perusahaan besar, sedangkan untuk perusahaan kecil mulai diberlakukan pada Juni 2025. Regulasi ini sempat tertunda implementasinya selama setahun.