Bisnis.com, SURABAYA—Belum adanya acuan pembanding biaya logistik antara Jawa Timur dengan kawasan lain di Asia Tenggara dinilai sebagai penyebab lemahnya daya saing ekspor provinsi tersebut, meski sudah dibangun pelabuhan internasional terintegrasi JIIPE.
Menurut Pemerintah Provinsi Jatim, upaya PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) membangun Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) di Gresik belum ditopang oleh strategi langsung dari pemerintah pusat untuk memurahkan biaya logistik.
Pelabuhan pertama yang melebur dengan sentra industri di kawasan Manyar itu dinilai hanya menunjang daya saing dari sisi sarana untuk mempercepat waktu loading dan forwarding saja. Namun, biaya untuk mengakses fasilitas tersebut masih cukup mahal.
“Seharusnya ada acuan [benchmark], biaya bongkar muat di JIIPE berapa dibandingkan dengan biaya loading-unloading di Singapura. Ternyata lebih mahal di Jatim. Belum lagi biaya demurrage,” kata Asisten II Sekdaprov Jatim Hadi Prasetyo, Kamis (11/6/2015).
Hadi, yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Kajian Ekonomi Jatim, berpendapat upaya membangun daya saing ekspor produk lokal menjelang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) di daerah seharusnya lebih holistik.
Dia menegaskan produk-produk Jatim tetap akan sulit berkompetisi jika waktu tunggu di pelabuhan bisa diperpendek, tapi biaya konektivitas dan logistiknya tetap lebih mahal dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara.
“Makanya, ketika teman-teman di Pelindo III sudah membangun sarana seperti Terminal Teluk Lamong atau JIIPE, seharusnya [pemerintah pusat] memberi ruang agar BUMN itu bisa memberikan layanan murah,” imbuhnya.
Salah satu caranya adalah dengan memberikan konsensi berjangka waktu panjang. Sebab, jika tenggat konsensi terlalu pendek, biaya pengembalian per tahun yang harus dibayar Pelindo III akan membengkak, sehingga beban kemahalan akan dilimpahkan ke konsumen.
Langkah lain yang tengah ditempuh Pemprov Jatim adalah mendisuksikan dengan pemerintah pusat wacana subsidi transportasi. “Entah itu melalui kerja sama pemerintah pusat dan daerah, atau murni dari pusat. Yang jelas logistik [Jatim] harus punya posisi tawar.”
Pemprov menilai subsidi transportasi adalah kebutuhan mendesak untuk mengatrol angka produksi di tengah tren pelemahan daya beli konsumen. Sebab, pemprov sudah tidak dapat mengandalkan semata-mata pada perbankan untuk menggelontor kredit murah bagi produsen.