Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan ladang gas abadi Blok Masela di Maluku Selatan diharapkan dapat memberikan kontribusi optimal bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat lokal.
"Apabila participating interest sebesar 10% yang dijanjikan dapat dikelola dengan baik dan sehat oleh pemerintah daerah, tentunya perekonomian rakyat Maluku akan lebih baik," kata Pengurus Pusat Pemuda Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku, Mahyudin Rumata, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/1/2015).
Mahyudin menjelaskan, keberadaan Blok Masela juga diharapkan membuat Maluku bisa lepas dari predikat provinsi termiskin keempat di Indonesia setelah Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Amanat UUD 45 adalah semua kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Semoga ini bisa menjadi napas utama dalam pengelolaan blok Gas Masela," ujar Mahyudin.
Menanggapi pro kontra seputar pengelolaan blok gas abadi yang belum dicapai kesepakatan apakah akan dikelola di laut dengan menggunakan Floating Liquified Natural Gas (FLNG), atau di darat (On-shore Liquefied Natural Gas/OLNG), Mahyudin berharap agar skema pengelolaan yang akan dipilih memperhatikan keseimbangan antara berbagai kepentingan sehingga tidak merugikan masyarakat maupun aspek lingkungan di masa mendatang.
"Pengelolaannya harus transparan, terarah dan terukur untuk kesejahteraan rakyat Maluku. DPRD maupun semua pihak terkait, termasuk masyarakat madani harus mengawasinya,” ujar Mahyudin.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan pengelolaan Blok Masela akan diputuskan setelah memanggil kontraktor Blok Masela, yakni INPEX dan Shell.
Secara prinsipil, pengelolaan Blok Masela harus dilakukan seusai dengan amanat Konstitusi (UUD 45) pasal 33, yakni sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
SKK Migas akan menunjuk konsultan internasional guna memilih salah satu dari dua skenario sistem kilang penampungan LNG tersebut. Biaya pengembangan lapangan guna membangun kilang di darat diperkirakan membutuhkan setidaknya US$19,3 miliar. Sedangkan jika dibangun di laut hanya butuh sekitar US$14,8 miliar.
Jika ditinjau dari potensi penerimaan negara, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya W. Yudha menyatakan pendapatan negara yang diperoleh melalui skema kilang FLNG juga cenderung lebih tinggi, yakni sekitar US$57 miliar.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Faby Tumiwa mengatakan Opsi FLNG akan memberi manfaat ekonomi lebih baik.
"PDB tercatat sebesar US$126,3 miliar vs US$122 miliar dibandingkan onshore. Sementara penerimaan negara yang lebih besar yaitu US$51,8 miliar vs US$ 42,3 miliar bila di onshore,” kata Faby.