Bisnis.com, JAKARTA- Kalangan pengusaha masih bersikeras menolak Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat atau UU Tapera meski DPR RI dengan suara bulat telah mengesahkannya dalam rapat paripurna yang digelar kemarin, Selasa (23/2/2016).
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, pihaknya berencana untuk melayangkan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi bila UU tersebut tetap dipaksakan.
Hariyadi menilai peran yang diambil Tapera hanya menduplikasi peran yang sudah dimainkan BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, menurutnya pengesahan UU tersebut terlalu dipaksakan kepada dunia usaha dan pekerja, padahal kedua pihak inilah yang akan dibebankan langsung oleh tapera.
Dari berbagai segi pun UU ini tidak tepat. Ini duplikasi dan akan kita ajukan ke MK, masa terhadap satu objek dibebankan dua kali. BPJS Ketenagakerjaan itu sudah 23 tahun dan kumpulkan uang Rp180 triliun. Sudah diatur pemerintah bahwa 30%-nya bisa untuk subsidi bunga rumah. Kurang apa lagi coba? katanya saat dihubungi melalui sambungan telepon yang dikutip Rabu (24/2/2016).
Hariyadi mengkritisi penyusunan RUU yang tidak melibatkan serikat pekerja, padahal beban pungutan terbesar dibebankan kepada mereka. Selain itu, Komite Tapera nantinya juga tidak melibatkan kalangan pengusaha dan pekerja.
Ketentuan RUU Tapera menyebutkan Komite Tapera terdiri atas Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, OJK, dan seorang dari unsur profesional. Mereka bertugas membuat kebijakan dan membina Badan Pengelola Tapera
"Ini di mana transparansinya? Menurut kita sih tidak benar. Kita lihat saja nanti MK bagaimana," katanya.
Wakil Ketua Panitia Khusus Rencana Undang-Undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Pansus RUU Tapera) Misbakun mengatakan, alasan utama adanya tapera adalah untuk mengatasi tingginya angka backlog perumahan yang saat ini sudah mencapai 13,5 juta. Pertumbuhan permintaan perumahan per tahun mencapai 800.000 unit, sementara suplai tahunan hanya sekitar 500.000.
Keterbatasan sumber pendanaan jangka panjang dan murah menjadi tantangan utama bagi masalah perumahan Tanah Air. Bila tidak segera diantisipasi, dalam jangka panjang masalahnya akan menjadi makin pelik.
Kita paham keberatan pengusaha, tapi pengusaha juga harus bisa pahami situasi dan keadaan sekarang. Tidak ada niat pemerintah ingin membuat pengusaha itu susah, katanya dalam konferensi pers seusai pengesahan UU Tapera, Selasa (23/2/2016).
Misbakun mengatakan, ketentuan tetang besaran iuran Tapera sudah dikeluarkan dari RUU Tapera agar memberi ruang bagi musyawarah dengan kalangan pengusaha. Maksimum iuran direncanakan sebesar 3% dari upah bulanan pekerja.
Nantinya, besaran iuran akan dibahas bersama antara pemerintah dan dunia usaha guna diatur dalam Peraturan Pemerintah, sebab RUU tetap menyebutkan simpanan tapera dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja (Pasal 17).
Kesempatan pembahasan tersebut akan menjadi momentum untuk konsolidasi dan restrukturisasi seluruh beban pungutan yang diberikan kepada dunia usaha. Dengan demikian, penambahan beban bagi pengusaha dapat diantisipasi.
Dirinya mengakui selama ini banyak pungutan yang tumpang tindih, misalnya dana pensiun dan jaminan hari tua. Kalangan pengusaha pun menilai kehadiran tapera hanya menduplikasi peran yang sudah dimainkan BPJS Ketenagakerjaan.
Pembahasan besaran iuran tapera nantinya akan menjadi momentum untuk meluruskan itu semua. Menurutnya, upaya konsolidasi aneka pungutan akan menjadi solusi yang adil bagi dunia usaha.
Jadi, kalau keberatannya pengusaha itu pada tingkat berapa yang jadi beban pengusaha, nanti kita bersama-sama duduk dengan pemerintah, kita sinkronkan semua, kita konsolidasikan semua, mana yang menjadi beban, mana yang duplikasi dan mana yang redundant di sana. Saya yakin pemerintah yang sekarang berani putuskan yang beginian, katanya.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basoeki Hadimoeljono mengatakan, UU Tapera mengedepankan asas gotong royong, dengan konsep subsidi silang antara sesama warga negara. Untuk itu, dia berharap ada keiklasan dari semua pihak.
Dirinya menjamin pemerintah berkomitmen mendukung keberlangsungan tapera. Untuk mendukung likuiditas tapera, pemerintah sudah berkomitmen menyertakan dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahaan (FLPP) ke dalam program tapera.
Sejauh ini, dana FLPP yang dikucurkan sudah mencapai Rp24 triliun. Tahun ini akan ada penambahan Rp9,3 triliun, sehingga total akan menjadi Rp33,3 triliun. Selain itu, dana Bapertarum yang saat ini sekitar Rp10 triliun juga akan dipindahkan ke BP Tapera.
Kita akan percepat untuk penuhi semua amanat UU Tapera. Dalam tiga bulan Komite Tapera harus sudah terbentuk agar segera bisa menyusun Peraturan Pemerintah, katanya di kesempatan yang sama.
UU Tapera mendelegasikan 7 Peraturan Pemerintah, 1 Peraturan Presiden, 1 Keputusan Presiden dan 10 Peraturan BP Tapera untuk ditetapkan di luar Undang-Undang. Seluruhnya harus tuntas dalam dua tahun setelah UU disahkan.