Bisnis.com, BANDUNG - Kalangan pekerja mempertanyakan peran pemerintah dalam penyediaan perumahan rakyat karena kewajiban dalam Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) semua ditanggung oleh pekerja dan pengusaha.
Ketua DPD SBSI'92 Jawa Barat Ajat Sudrajat mempertanyakan tanggung jawab pemerintah dalam implementasi UU tersebut, karena pengesahan UU Tapera malah menciptakan beban baru bagi pekerja.
Dia menilai peran pemerintah dalam beleid tersebut nyaris tidak ada, karena yang terkena beban kewajiban tersebut adalah pekerja yang dikenai 2,5% dari total pendapatannya, dan 0,5% pemberi kerja.
"Kami belum melihat sejauh mana tanggung jawab pemerintah. Tapi, kalau semua beban tersebut ditimpakan kepada pemberi kerja dan pekerja, berarti pemerintah angkat tangan," katanya kepada Bisnis, Rabu (24/2/2016).
Menurutnya, apabila dua tahun ke depan UU tersebut tetap dipaksakan, beban pengeluaran pekerja akan bertambah menjadi sekitar 10%--11% setiap bulannya, untuk membayar sejumlah iuran seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, ditambah lagi PPh 21.
Oleh karena itu, pihaknya memahami keberatan kalangan pengusaha yang diwakili Apindo secara tegas akan menolak pelaksanaan UU tersebut karena dianggap semakin memberatkan beban pengusaha di tengah mayoritas perusahaan sudah kembang kempis.
"Dengan kondisi perekonomian saat ini perusahaan tengah berusaha untuk mempertahankan usahanya, bukan lagi cari untung. Bunga bank yang tidak turun dan regulasi yang tidak kondusif menjadi beban mereka," ujarnya.
Atas dasar itu, organisasi serikat pekerja ingin memberikan dukungan kepada pengusaha agar tetap mempertahankan roda bisnisnya agar tidak terjadi PHK besar-besaran.
Sementara itu, Sekretaris Apindo Jabar Martin Benjamin Chandra menilai pemberlakuan UU Tapera akan semakin membebani dunia usaha di tengah perlambatan ekonomi yang sedang terjadi.
"Komposisi Tapera sebesar 3% itu cukup sulit direalisasikan mengingat program pemerintah yang lainnya sudah mengerek beban biaya pengusaha," ungkapnya.
Di sisi lain, iuran sebesar 2,5% yang harus dibayarkan pekerja dianggap terlalu besar, yang dapat memicu kekhawatiran di kalangan pekerja karena gaji yang mereka terima akan semakin kecil.
"Kami bukan tidak mau pekerja memiliki rumah sendiri, tapi implementasi iuran itu yang menjadi beban," tegasnya.
Apindo memandang persentase beban pungutan pengusaha dan pekerja saat ini sudah cukup besar, meliputi iuran jaminan hari tua (JHT) 3,7%, jaminan kematian 0,3%, jaminan kecelakaan kerja 0,24-1,74%, jaminan pensiun 2%, jaminan sosial kesehatan 4%, dan cadangan pesangon 8%.
Adapun, berdasarkan rata-rata kenaikan upah dalam lima tahun terakhir hanya sekitar 14%, maka beban tahunan pengusaha untuk taat pada peraturan UU mencapai 35%. Selain itu, bantuan kepemilikan rumah juga sebenarnya sudah ada di dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
"Memang ada sisi positifnya [UU Tapera], akses pembelian rumah bagi pekerja akan semakin mudah sehingga akan banyak pekerja yang memiliki rumah di dekat lokasi kerja. Ini diharapkan bisa memacu produktivitas," ujarnya.
Dihubungi di tempat terpisah, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Jawa Barat Rahayu Wiramihardja menilai pengesahan UU Tapera merupakan hal positif bagi masyarakat untuk memiliki rumah secara mudah.
“Ini sangat membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dari dulu kan ini sudah pernah dibahas, dari 1996 juga sudah pernah ada wacana seperti ini,” katanya.
Guna mengimplementasikan UU tersebut agar berjalan lancar maka pemerintah harus menciptakan regulasi yang tidak memberatkan masyarakat maupun pengusaha. “Misalnya bagi yang mau mengajukan rumah, uang mukanya di bawah Rp4 juta," ujarnya.