Bisnis.com, JAKARTA - Supply Chain Indonesia menilai bahwa persoalan ketersediaan dan fluktuasi harga komoditas pangan tertentu, misalnya stock daging sapi saat ini, disebabkan oleh tiga faktor utama yakni; ketergantungan terhadap komoditas tertentu, struktur rantai pasok, dan konektivitas.
Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi menyatakan saat ini masyarakat sangat tergantung terhadap komoditas sapi, meskipun terdapat komoditas alternatif seperti ikan.
Komoditas tertentu tersebut berada dalam rantai pasok yang panjang dengan struktur yang tidak tertata baik, sehingga peranan dan keuntungan tidak terbagi secara proporsional di antara para pelaku, serta mempersulit pengawasan dan pengendaliannya.
“Perbaikan struktur rantai pasok untuk daging sapi, misalnya, perlu dilakukan pada semua tingkatan. Pada tingkat produksi, misalnya, lebih dari 90% sapi di tangan para peternak kecil dengan jumlah sapi sangat terbatas, misalnya 5 ekor per peternak, dan belum dikelola secara industrial,” tulis Setijadi melalui siaran pers yang diterima, Minggu (19/6/2016).
Selain biaya operasional pemeliharaan dan pengirimannya menjadi mahal karena tidak memenuhi skala ekonomi, pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah menjadi sulit. Setijadi menyatakan bahwa persoalan konektivitas terjadi karena sistem logistik yang belum efisien dan terkendala terutama oleh ketersediaan infrastruktur yang belum memadai sesuai dengan karakteristik kondisi geografis Indonesia.
“Persoalan konektivitas bisa dilihat dari biaya pengiriman komoditas yang tinggi. Sebagai contoh, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, biaya pengangkutan komoditas ikan dari Ambon ke Surabaya rata-rata Rp1.800 per kilogram, sedangkan dari China ke Surabaya rata-rata Rp700 per kilogram,” ungkap Setijadi.
Contoh lainnya, biaya pengangkutan sapi dari NTB ke Jakarta 40% lebih mahal daripada dari Australia, sedangkan biaya pengiriman daging sapi dari NTT hampir 4 kali lipat dibandingkan dari Australia.
Apabila rantai pasok komoditas tidak dibenahi, Setijadi menilai bisa terjadi ancaman terhadap ketersediaan dan daya saing komoditas lokal, sehingga akan mengganggu ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Setijadi menyebut, operasi pasar dan impor merupakan solusi jangka pendek yang tidak bisa memecahkan persoalan pangan secara substansial. Keduanya berpotensi merugikan sebagian pelaku dan tidak memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan seperti yang diamanatkan dalam UU UU 18/2012 tentang Pangan.
“Saat ini merupakan momentum tepat perencanaan penyelenggaraan pangan melalui perbaikan rantai pasok dengan mengacu kepada UU Pangan. Penyelenggaraan pangan harus dilakukan secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan,” jelasnya.