2. Tabiat Masyarakat Kayong Utara Menyisakan Kekecewaan
Bagaimanapun, harapan untuk menjadikan SSK 2016 sebagai ‘pemancing’ roda perekonomian rakyat di Kayong Utara agaknya masih menuai jalan panjang. Hal sederhana, seperti kesadaran bersih-bersih oleh warganya saja masih terabaikan.
Hal itu membuat kecewa Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. “Kalau pemandangan alam sih enggak usah ditanya, semuanya bagus. Namun sayang, kalau tentang kebersihan masih mengecewakan,” keluhnya soal kabupaten tersebut.
Sampah menjadi masalah tersendiri di wilayah itu. Ambil contoh, saat hujan deras mengguyur venue SSK 2016 di Pantai Pulau Datok, sebagian besar anjungan tenda pameran dan panggung digenangi air kotor, serta banyak sampah berserakan.
“Semua harus kerja, tidak mungkin masalah kebersihan ditangani sendiri oleh Pak Bupati [Hildi Hamid]. Kalau kondisi lingkungannya bersih dan warganya ramah, itu bisa menciptakan reputasi yang baik,” imbuh Luhut.
Apalagi, lanjutnya, pemerintah telah menetapkan target kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 20 juta orang. “Jadi tolong dijaga kebersihan lingkungannya. Itu adalah modal penting untuk pembangunan ekonomi di Kayong Utara.”
Ungkapan kekecewaan tidak hanya dilontarkan oleh menteri. Bahkan tamu lokal pun mengaku ada hal mengganjal dibalik perhelatan akbar Sail Selat Karimata 2016 pekan lalu. Ganjalan itu sebenarnya sepele, yaitu sikap warga yang ‘aji mumpung’ dalam berbisnis.
Misalnya saja dalam menawarkan jasa penginapan. Akibat minimnya penginapan di Sukadana dan sekitarnya, warga berbondong-bondong mencuri kesempatan mencari cuan dengan menyewakan kamar-kamar di rumah mereka sebagai hotel dadakan ala homestay.
Hal itu untuk mengakomodasi ledakan jumlah pengunjung di kecamatan tersebut. Apalagi, pemerintah telah memprediksi jumlah kunjungan turis di Kayong Utara selama kegiatan SSK 2016 bisa menembus 15.000 orang.
Permasalahannya, kamar-kamar ala homestay milik warga Kecamatan Sukadana tersebut dijajakan dengan harga yang kelewat mahal. Rata-rata kamar disewakan Rp600.000/malam tanpa AC, sarapan, dan kamar mandi. Untuk yang ber-AC harganya mencapai Rp1 juta lebih.
Salah satu pengunjung dari Kabupaten Sintang, Rahmat, menggambarkan kamar-kamar homestay tersebut tidak memiliki standar fasilitas yang memadai untuk tempat bermalam turis atau tamu di Sukadana.
"Terus terang itu adalah kendala di desa ini. Punya acara sekelas Sail Karimata, tapi tidak ditunjang dengan infrastruktur yang memadai. Tempat penginapan saja sangat kurang, padahal sudah tahu bakal ada banyak sekali tamu yang berkunjung," ucapnya.
Dia berpendapat hal itu akan membuat turis kapok berkunjung ke Kayong Utara. “Ekspektasi pengunjung ke sini kan hendak menikmati pariwisata. Mereka sewa kamar warga. Namun, ternyata mahal sekali dan pelayananannya tidak bagus," imbuhnya.
Sebagian besar tamu dan panitia SSK 2016 terpaksa menyewa kamar warga karena tidak ada pilihan lain. Pasalnya kota terdekat dari Kayong Utara adalah Ketapang. Jaraknya 2 jam dari Kayong Utara dan harus ditempuh melalui jalur darat dengan jalanan sangat bergelombang.
"Kalau belum-belum harga kamar saja sudah 'ngepruk' saya yakin akan banyak yang kapok ke sini lagi. Kalau warga mau panen untung, jangan seperti ini caranya. Lakukan dengan pelayanan yang lebih baik agar potensi pariwisata bisa lebih berkelanjutan," imbuh Rahmat.
Masih banyak pekerjaan rumah yang menanti pemerintah pusat, Pemprov Kalbar, dan Pemkab Kayong Utara untuk menciptakan sebuah roda perekonomian rakyat yang berkelanjutan seusai pesta pora SSK 2016.
Sebaliknya, apa yang menjadi PR di Kayong Utara bisa saja terjadi di daerah lain. Ada begitu banyak acara ‘Sail’ di Indonesia. Namun, sudahkah tuan rumah dari pergelaran-pergelaran yang katanya ‘internasional’ itu mencapai pembangunan ekonomi rakyat yang berkelanjutan?