Bisnis.com, JAKARTA — Sekitar 20% minyak mentah yang dikonsumsi pada 2025 merupakan hasil dari kegiatan eksplorasi atau temuan pada periode 2000-an.
Artinya kegiatan eksplorasi saat ini harus dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam beberapa puluh tahun ke depan.
Vice President Global Exploration Research WoodMackenzie Andrew Latham mengatakan, pada saat harga minyak murah, kontraktor masih bisa mendapat nilai tambah dari kegiatan eksplorasi. Caranya, dengan berinvestasi pada wilayah berisiko rendah, pengembangan berbiaya rendah, negara yang menawarkan syarat-syarat fiskal (fiscal terms) yang menarik juga bagaimana untuk mempercepat komersialisasi proyek.
Saat harga minyak di level US$50—US$60 per barel, katanya, kegiatan eksplorasi masih bisa memberikan nilai tambah. Dia menyebut 20% dari minyak yang dikonsumsi pada 2025 berasal dari temuan pada era tahun 2000-an. Oleh karena itu, eksplorasi sebenarnya bisa tetap dilakukan untuk menambah cadangan.
Di Indonesia, mengacu pada data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi kegiatan hingga akhir Februari 2017, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) wilayah produksi sudah merealisasikan pengeboran 19 sumur pengembangan, 119 kegiatan kerja ulang (work over), dan 4.350 perawatan sumur (well service).
Sementara itu, untuk KKKS eksplorasi, kegiatan yang sudah dilakukan adalah 1 survei seismik, 2 survei nonseismik, 5 pengeboran sumur eksplorasi, dan 1 kegiatan re-entry sumur eksplorasi.
Dari aspek realisasi investasi, sampai dengan 31 Maret 2017, investasi yang sudah dikeluarkan KKKS mencapai US$1,9 miliar atau 14% dari target yang ditetapkan yakni US$13,8 miliar. Angka tersebut terdiri dari US$1,8 miliar dari blok produksi dan sisanya U$0,1 miliar dari blok eksplorasi. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, investasi yang terealisasi sebesar US$2,8 miliar atau 19% dari target total US$15 miliar. Capaian pada kuartal I/2016 itu US$2,7 miliar di antaranya berasal dari kegiatan produksi dan sisanya sebesar US$0,1 miliar berasal dari eksplorasi.
"20% dari minyak yang dikonsumsi pada 2025 berasal dari temuan di tahun 2000," katanya dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Rabu (26/4/2017).
Sebelumnya, berdasarkan laporan Wood Mackenzie tentang Acuan Eksplorasi 2006-2015, perusahaan besar menginvestasikan US$169 miliar di masa eksplorasi dengan penambahan cadangan sebesar 72 miliar barel setara minyak (bboe) dengan 25 bboe di antaranya berasal dari blok nonkonvensional.
Biaya temuan pun menurun dan tercatat sebagai biaya terendah pada 2015. Laporan tersebut, peran eksplorasi konvensional dalam pengembalian cadangan semakin berkurang. Pengembalian cadangan justru berasal dari blok nonkonvensional, teknik rekayasa penambahan cadangan dan penggabungan dan akuisisi (merger and acquisition/M&A) akan menjadi kunci pengembalian cadangan.
Perusahaan, katanya, tak lagi mengganti produksi melalui cara eksplorasi konvensional seperti yang biasanya dilakukan. Saat ini, pengembalian cadangan, katanya, akan bertumpu pada lapangan tua.
Tantangan pengembalian cadangan, ujar Latham, akan berubah dari minyak ke gas. Dengan demikian, rasio pengembalian tak lagi menjadi sama. Sebagai gambaran, hanya seperempat atau 25% temuan berupa minyak dan tiga perempat atau 75% berupa gas. Sementara, produksi secara global saat ini, hampir dua pertiga berupa minyak dan sepertiga berupa gas.
"Faktor besar lainnya adalah gas. Perusahaan-perusahaan tak bisa mengembalikan volume produksi dengan rasio yang sama atau dengan cara yang sama," katanya.