Bisnis.com, JAKARTA - Produsen khawatir pelonjakan harga baja dapat menganggu proyek-proyek pembangunan dalam negeri.
International Relations Direktor Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Purwono Widodo mengatakan, harga baja khususnya baja lembaran panas atau hot rolled coil, terus meningkat terutama dalam 2 bulan terakhir.
Saat ini, harga HRC berada di kisaran US$600 per ton, sedangkan selama 2 tahun terakhir, harga HRC dunia paling tinggi berada di kisaran US$500 per ton.
“Sekarang ini US$600 per ton, ini lebih dari harga normal, malah menakutkan kalau naik tinggi karena bisa menggangu proyek-proyek,” ujarnya Kamis (31/8/2017).
Purwono menjelaskan, dalam pembangunan suatu proyek, baik yang dibiayai oleh APBN, APBD, maupun perusahaan, anggaran dikerjakan pada tahun sebelumnya dengan asumsi harga baja pada saat itu. Dengan kenaikan harga baja yang terus terjadi, proyek terancam mandeg karena dalam pelaksanaan tender,umumnya dipatok rentang kenaikan atau penurunan harga sebesar 10% dari harga yang dijadikan acuan saat pembuatan anggaran.
Apabila selisih harga lebih dari 10%, lanjutnya, mau tidak mau proses pembuatan anggaran dan tender diulang kembali.
Baca Juga
“Harga tinggi kami memang senang, tetapi kalau terlalu tinggi, gangguannya di situ,” kata Purwono.
Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. ini menyatakan, peningkatan harga baja dunia tidak lepas dari kebijakan China sebagai pemain baja utama dunia yang memangkas kapasitas produksinya. Produsen baja hulu nasional pun kesulitan mencari bahan baku berupa billet dan slab.
Pemangkasan kapasitas produksi baja China tersebut disebabkan adanya kebijakan pemerintah untuk memangkas fasilitas produksi yang tidak ramah lingkungan di saat kebutuhan domestik tengah meningkat. Pemerintah China disebut berjanji akan memangkas produksinya sebesar 150 juta ton dari kapasitas produksi sebesar 850 juta ton hingga 870 juta ton.
Dengan kebijakan China tersebut, Purwono memprediksi penurunan impor baja sepanjang paruh kedua tahun ini bisa mencapai 50%. Padahal, produsen baja hulu dalam negeri hanya bisa memenuhi sekitar 8 juta ton per tahun dari kebutuhan sebesar 13 juta ton per tahun.
“Teman-teman di produk hilir saat ini banyak meminta ke Krakatau Steel, Gunung Garuda, dan produsen baja hulu lain. Di Krakatau Steel, kami sudah full book hingga Oktober,” ujarnya.
Menikmati Kenaikan Harga
Sementara itu, Krakatau Steel sebagai produsen baja terbesar di Indonesia masih menikmati peningkatan harga baja yang secara berangsur mengalami penaikan. Direktur Utama KRAS Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengatakan sepanjang semester I/2017, kinerja perseroan membaik dengan menurunnya rugi bersih dari US$87,55 juta menjadi US$56,70 juta secara tahunan.
Harga HRC perseroan tercatat berada di level US$520 per ton pada Januari 2017 dan mencapai US$629 per ton pada akhir Juni 2017. Kendati terjadi penurunan volume penjualan baja menjadi 841.101 ton yang disebabkan overhaul dan libur lebaran, perseroan masih mencatatkan laba operasi senilai US$4,45 juta.
“Kami yakin di akhir tahun kinerja perusahaan akan lebih baik,” ujar Mas Wig.
Dari sisi pangsa pasar, KRAS masih menguasai market share baja domestik nasional untuk produk HRC dan CRC, yaitu sebesar 44% dan 28%. Adapun, HRC mendominasi penjualan produk baja perseroan sebesar 46,61%, disusul CRC sebesar 31,28%, baja tulangan sebesar 8,94%, spiral dan ERW sebesar 5,94%, wire rod sebesar 4,17%, dan sections sebesar 3,05%.