Bisnis.com, JAKARTA – Ketersediaan lahan di daerah menjadi kendala pendirian Rumah Potong Hewan Unggas, sehingga implementasi Permentan No. 61/2017 belum berjalan optimal.
Permentan No. 61/2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras, yang telah direvisi menjadi Permentan 32/2017, mengatur kewajiban memiliki RPHU dengan fasilitas rantai dingin bagi pelaku usaha integrasi, pelaku usaha mandiri, koperasi, dan peternak yang memproduksi ayam ras potong (livebird) dengan kapasitas produksi paling rendah 300.000 ekor per minggu. Kewajiban ini berlaku satu tahun setelah Permentan terbit.
Hingga Desember 2017, ada 19 perusahaan pembibit yang telah memiliki RPHU dengan fasilitas rantai dingin dari 47 perusahaan pembibit. Total RPHU dengan fasilitas rantai dingin sebanyak 43 unit dengan kapasitas potong 1,67 juta ekor per hari.
Dihubungi pekan lalu, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian Sugiono menyampaikan pelaku usaha pembibitan sulit memperoleh lahan untuk mendirikan RPHU yang sesuai dengan RTRW di masing-masing daerah. Meski demikian, pemerintah tetap menghimbau kepada sejumlah produsen ayam ras potong yang sesuai ketentuan segera mendirikan RPHU dengan fasilitas rantai dingin.
Sugiono mengatakan pemerintah mempertimbangkan sanksi berupa pengurangan kuota impor bibit indukan ayam (Grand Parent Stock/GPS) bagi perusahaan pembibitan yang tidak mengikuti regulasi tersebut. “Kementan masih menghimbau. Bagi yang tidak mentaati, akan kami semprit. Dikurangi kuota Impor GPSnya,” imbuhnya.
Senada dengan itu, Ketua Umum Pinsar Indonesia Singgih Januratmoko berpendapat pemerintah perlu memberikan sanksi bagi perusahaan terintegrasi yang tidak memiliki RPHU. Diantara sanksi yang dapat dikenakan yakni pengurangan kuota impor GPS.
“Kami sudah mendesak ke pemerintah agar RPHU dapat diterapkan dengan maksimal. [Soal keterbatasan lahan] harusnya bisa karena mereka memiliki dana besar. Kami akan terus follow up,” katanya, Senin (1/12).