Bisnis.com, JAKARTA—Proyek gasifikasi batu bara yang baru disiapkan di Berau, Kalimantan Timur.
Direktur Jendral Industri Kimia, Tektsil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan proyek gasifikasi batu bara menjadi produk petrokimia ini merupakan inisiatif baru di luar beberapa proyek yang sebelumnya sudah diumumkan ke publik.
"Kapasitasnya 400.000 ton pertahun. Bagus untuk industri [kalau terealisasi], lokasinya di Berau," kata Sigit kepada Bisnis, setelah rapat koordinasi di Kantor Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman di Jakarta, Senin (19/2/2018).
Dalam proyek ini, Sigit belum bersedia mengungkapkan calon investor yang akan terlibat. Demikian juga besaran investasi yang dibutuhkan untuk gasifikasi batu bara menjadi produk petrokimia ini.
Dalam kesempatan terpisah Ketua Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) Suhat Miryaso mengatakan Indonesia sangat membutuhkan investasi di sektor hulu petrokimia. Dengan kondisi saat ini maka kebutuhan bahan baku harus dipenuhi melalui impor agar industri hilir seperti kemasan maupun plastik dapat beroperasi.
Suhat mengatakan gasifikasi batu bara terkendala dengan harga batu bara yang tidak stabil. Ketika harga batu bara menanjak tinggi nilai proyek menjadi sulit memenuhi layak investasi.
Apalagi dalam perdagangan komoditas, batu bara juga dikenai kewajiban royalti. "Supaya layak investasi, kita perlu harga batu bara yang rendah," katanya.
Saat ini penggunaan batu bara sebagai bahan baku methanol banyak dilaksanakan di China. Bahkan model ini dinilai lebih kompetitif secara bisnis dibandingkan dengan model produksi gas alam menjadi methanol.
"Saat ini belum ada yang mulai, masalahnya investasinya sangat tinggi. Hingga tiga kali lipat. Saat ini di Indonesia baru tingkat study," katanya.
Pada 2025, industri masih akan kekurangan produk petrokimia yakni propylene sebesar 720.000 ton per tahun, polypropylene 700.000 ton per tahun, para-xylene 1,1 juta ton per tahun, dan benzene 245.000 ton per tahun.