Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menilai edukasi terhadap konsumen di Uni Eropa (UE) yang belum matang menyebabkan sertifikasi legal kayu Indonesia belum signifikan mendongkrak ekspor ke Benua Biru.
Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto berpendapat setahun setelah pelaksanaan ekspor kayu tanpa hambatan ke Eropa, sudah masanya edukasi ditanamkan terhadap masyarakat setempat. Konsumen Eropa perlu diberi tahu bahwa Indonesia telah menerapkan sistem sertifikasi mandatori yang sesuai preferensi mereka tentang produk ramah lingkungan.
"Kita harus masuk ke end user, selama ini lebih ke distributor, kenapa Anda harus pilih kayu Indonesia yang SVLK [sistem verifikasi legalitas kayu]. [Karena] kita harus concern ke masalah lingkungan, sosial," katanya, Selasa (6/3/2018).
APHI akan menggandeng yayasan nonprofit di bidang kehutanan di Eropa, seperti the Nature Conservancy (TNC) atau Forest Stewardship Council (FSC), untuk menyosialisasikan sistem sertifikasi kayu Indonesia kepada konsumen. Mereka akan diberi pengetahuan bahwa V-legal yang dikantongi Indonesia setara dengan sertifikat FSC yang sudah lama dikenal masyarakat Eropa.
Namun, tutur Purwadi, edukasi dan sosialisasi ke 28 negara anggota Uni Eropa tidak mudah dan membutuhkan waktu. Dia berharap kenaikan ekspor akan terlihat signifikan dalam 2-3 tahun ke depan.
Soal harapan produk kayu tersertifikasi akan memperoleh harga premium dari konsumen, Purwadi menyatakan fokus mereka adalah penerimaan produk bersertifikasi di oleh konsumen.
"Sebenarnya premium price itu insentif di akhir yang kami harapkan. Yang kami dorong sebenarnya keberterimaan dulu di tingkat customer. Setelah mereka puas, senang, dengan produk yang ditawarkan, baru mereka akan berpikir apa yang bisa kami lakukan untuk menghargai produk dari Indonesia," terangnya.
Seperti diketahui, ekspor produk kayu ke UE relatif stagnan. Padahal, semula lisensi yang disebut V-legal itu diharapkan memberikan nilai tambah bagi produk kehutanan nasional.
Nilai ekspor kayu dan produk kayu Indonesia pada 2017, setahun setelah lisensi Forest Law, Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) diterbitkan, hanya US$1 miliar. Jumlah itu tidak naik signifikan dibandingkan dengan realisasi pengapalan pada 2012, ketika syarat itu masih dalam tahap uji coba.