Bisnis.com, JAKARTA—Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia memperkirakan kinerja ekspor mebel dari Indonesia akan stagnan pada tahun ini.
Abdul Sobur, Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) menuturkan ekspor tahun ini diperkirakan akan sama dengan capaian 2017. Pasalnya dukungan pemerintah dirasa sangat minim untuk industri ini. Tahun lalu nilai ekspor produk mebel mencapai US$1,8 miliar.
"Di saat market dunia tumbuh 8% sampai 10%, Indonesia malah mengalami penurunan pada 2016 dan 2017. Pada 2018 ini kondisinya kurang lebih sama dengan tahun lalu. Faktanya sekarang ekspor kita turun US$300 juta untuk mebel, sedangkan kerajinan hanya tumbuh 5% sampai 6%," kata Sobur di Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Rendahnya kinerja industri mebel dan kerajinan tidak lepas dari sejumlah hambatan yang harus ditanggung seperti bunga bank yang tinggi, kesulitan bahan baku, dan kerumitan impor bahan baku untuk tujuan ekspor.
"Kalau pemerintah menganggap memang industri mebel ini industri strategis. Industri padat karya. Kami minta dukungan penuh terutama regulasi yang memberatkan hapuskan. Buatlah regulasi yang membuat pertumbahan," katanya.
Dengan kondisi hari ini, Sobur pesimistis target ekspor US$5 miliar pada 2019 yang dirancang dapat terpenuhi. Dalam target yang ditetapkan itu, pemerintah menargetkan sektor mebel menyumbang ekspor sebesar US$3,6 miliar, sedangkan produk kerajinan US$1,4 miliar.
Sobur menilai permasalahan yang dihadapi membuat industri nasional tertinggal. Padahal negara pesaing seperti Vietnam, Malaysia hingga China justru tumbuh dengan baik.
"Tata kelola seperti kami mengeluhkan suplai bahan baku kepada industri mebel menjadi persoalan besar. Di lain pihak ada yang mengatakan berlimpah sehingga diperlukan ekspor," katanya.
Kendala lain, suku bunga kredit bagi industri mebel sangat tinggi. Padahal agar bisa bersaing dibutuhkan bunga kredit di bawah 9%. Sobur juga mengharapkan adanya solusi bagi pengusaha yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai pengusaha industri kecil menengah yang memperoleh fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE). Padahal sebagian produk membutuhkan bahan baku impor. "Ini harus dicarikan solusinya agar bisa bersaing," katanya.