Bisnis.com, JAKARTA – Industri rumput laut dalam negeri dinilai berjaya di hulu, tetapi loyo di hilir. Harmonisasi kebijakan diperlukan untuk membangun industri hilir.
Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang, rumput laut menjadi komoditas yang tumbuh subur di daerah pesisir. Data Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) menunjukkan terdapat 12 juta hektare wilayah yang berpotensi untuk budidaya rumput laut. Tetapi, hanya 2,25% dari seluruh luas wilayah tersebut yang telah dimanfaatkan, atau hanya 267,8 hektare.
Pemanfaatan luas wilayah yang hanya 2,25% tersebut mampu memproduksi 10,8 juta ton pada 2017. Dengan jumlah produksi tersebut, tercatat nilai ekspor sebesar US$158,8 juta.
Ketua Umum ARLI Safari Azis menjelaskan selain pemanfaatan wilayah yang masih sedikit, kendala lain dalam mengembangkan industri rumput laut adalah harmonisasi industri hulu dan hilir. Sejauh ini, industri hulu mendominasi hampir seluruh bagian industri.
Safari menjelaskan produksi rumput laut saat ini mayoritas berupa rumput laut kering. Produk tersebut sebagian besar diekspor karena permintaan dari luar sangat besar, sedangkan di dalam negeri masih kecil karena kurangnya industri hilir yang menerima produk dari hulu.
Data Komisi Rumput Laut Indonesia menunjukkan sekitar 80% produksi rumput laut pada 2017 justru 'berlayar' ke luar negeri. Safari menilai harmonisasi industri hulu dan hilir di Indonesia harus segera dilakukan.
"Ke depannya, dalam rangka program industrialisasi tidak hanya dijalankan paralel antara hulu dan hilirnya, sehingga kita tidak kehilangan momentum [untuk] tetap mengisi pasar produksi, sementara kita membangun industri hilir yang berdaya saing," ujar Safari kepada Bisnis, Rabu (14/11/2018).
Safari menilai pengembangan industri hilir dapat dimulai dengan mengedukasi masyarakat dan industri untuk menggunakan bahan pencampur yang berasal dari rumput laut. Selain itu, industri yang mengolah rumput laut menjadi hidrokoloid pun perlu dikembangkan karena hasil produksinya dapat digunakan industri pengolahan makanan, industri kesehatan, dan industri kosmetik.
Ekonom Piter Abdullah menilai rumput laut bernasib seperti hasil kekayaan alam lain yang memiliki industri hulu namun tidak ada industri hilirnya. Kondisi tersebut menurutnya membuat komoditas cenderung dikirim ke luar negeri.
Piter pun menilai persoalan yang mendasari kondisi tersebut adalah lingkungan bisnis yang tidak cukup mendukung. Investasi asing yang kebanyakan berbentuk direct investment serta kendala suku bunga membuat pengembangan industri tersendat.
"Seharusnya pemerintah fokus dalam membangun industri, kebijakan lain mengikuti untuk men-support kebijakan industri. Sekarang kita kurang ada harmonisasi kebijakan," ujar Piter, Rabu (14/11/2018).
Dia mencontohkan banyaknya program pembinaan nelayan untuk mengembangkan rumput laut tapi tidak disertai pembangunan industri hilirnya. Menurutnya hal tersebut mencontohkan pemerintah mendorong produksi tapi tidak memikirkan pemanfaatannya, hingga akhirnya petani disulitkan karena tidak mendapatkan harga yang cocok.