Bisnis.com, JAKARTA – Perencanaan pembangunan nasional dinilai tidak mempertimbangkan kearifan lokal, hal itu memberikan pengaruh pada ketahanan bangunan dan lingkungan terhadap cuaca dan bencana.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati memaparkan bahwa saat ini pembangunan masih bertumpu pada sektor ekstraktif, monokultur, skala besar, dan polutif. Hal itu menurutnya menambah kerawananan bencana akibat hilangnya fungsi-fungsi ekologis ekosistem
“Contoh terbaru dari pengabaian kearifan lokal dalam perencanaan wilayah adalah dua lokasi likuifaksi di Palu, yang secara tradisional lokasi tersebut merupakan ruang konservasi air,” ungkapnya dikutip dalam laporan resmi, Senin (7/1).
Selain kearifan lokal, Dahniar Adriani, Direktur Perkumpulan Hukum Berbasis Masyarakat Indonesia (Huma) menambahkan, penelitian ilmiah, seperti Peta Zona Bahaya likuifaksi yang dilakukan oleh Pusat Air Tanah Dan Geologi Lingkungan Badan Geologi yang diserahkan kepada pemerintah daerah pun diabaikan.
Adapun, sorotan menyoal proses mitigasi bencana juga dirasa minim. Dalam diskusi bertajuk ‘Audit Bencana dan Ekologis dalam Tata Ruang’ yang digelar Huma pada Minggu (6/1), pemerintah diminta untuk kembali melakukan evaluasi tata ruang dengan memasukkan perspektif kerawanan bencana alam maupun ekologis serta memperhatikan kearifan lokal.
Evaluasi itu didasarkan pada Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Pedoman Audit Tata Ruang, Pasal 1, yang merupakan serangkaian kegiatan pemeriksaan dan evaluasi terhadap data dan informasi spasial serta dokumen pendukung untuk mengevaluasi suatu laporan atau temuan yang diduga sebagai indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang.
Baca Juga
Peraturan itu ditujukan untuk mewujudkan penataan ruang yang berdaya guna, berkualitas, dan berkelanjutan perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dorongan audit kepada pemerintah tersebut turut didasari oleh sejumlah fakta yang dihadapi seperti konflik sumber daya di dalam ruang yang berujung kepada konflik horizontal pemanfaatan ruang dan dampak dari perubahan iklim semakin sering terjadi.
Selain audit tata ruang, dalam diskusi media itu muncul dorongan kepada pemerintah untuk memasukan mitigasi bencana dan perubahan iklim dalam perencanaan tata ruang nasional dan wilayah ke depan, dengan antara lain memasukkan zonasi rawan bencana sebagai nomenklatur khusus di dalam rencana tata ruang wilayah.