Bisnis.com, JAKARTA--Defisit neraca perdagangan sepanjang 2018 tidak terelakkan seiring dengan lonjakan impor yang tinggi dan performa ekspor yang mengendur.
Konsensus ekonom memperkirakan neraca perdagangan Desember masih akan mengalami defisit dengan nilai rata-rata mencapai US$1,2 miliar dan nilai tengahnya US$1 miliar.
Ekonom PT Maybank Indonesia Tbk. Juniman memperkirakan defisit neraca perdagangan pada Desember 2018 masih tetap tinggi, yakni US$1,228 miliar dibandingkan US$2,05 miliar pada November. Adapun, defisit pada Desember tahun lalu lebih disebabkan oleh performa ekspor yang menurun.
"Penurunan ekspor disebabkan oleh turunnya beberapa harga komoditas, terutama minyak," ungkap Juniman, Senin (14/1).
Selain itu, perlambatan ekonomi dari partner dagang utama Indonesia mulai berpengaruh. Posisi ekspor yang menurun juga disebabkan oleh terbatasnya hari kerja yang efektif akibat libur Natal dan Tahun Baru sehingga aktivitas bongkar muat di kapal berkurang.
Juniman memperkirakan ekspor Indonesia akan menurun menjadi US$14,08 miliar pada Desember 2018, dibandingkan bulan sebelumnya.
Di sisi lain, impor sepanjang Desember 2018 diperkirakan mengalami penurunan akibat harga minyak dunia yang turun dan libur panjang Natal dan Tahun Baru. Oleh karena itu, dia memperkirakan impor akan menurun menjadi US$15,31 miliar pada Desember 2018 dibandingkan bulan sebelumnya US$16,88 miliar.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David E. Sumual mengungkapkan pertumbuhan impor sepanjang Desember 2018 masih tetap tinggi dengan pertumbuhan hingga 7% (year on year/yoy).
"Tingginya impor disebabkan oleh masih maraknya kegiatan investasi yang membutuhkan barang modal," ujar David, Senin (14/1).
Di sisi lain, impor barang konsumsi juga masih cukup besar untuk kebutuhkan Natal dan Tahun Baru. David menghitung rata-rata nilai impor per bulan sepanjang tahun lalu mencapai US$16 miliar - US$17 miliar. Alhasil, dia memperkirakan defisit neraca perdagangan pada tahun ini dapat mencapai US$8,2 miliar.
Adapun, tingginya impor sepanjang tahun lalu memang berkaitan dengan kegiatan ekonomi di dalam negeri karena industri di Tanah Air masih banyak yang bergantung kepada bahan baku impor.
"Karena industri dalam negeri ketergantungan terhadap impor bahan baku mencapai 80%," kata David.
Ke depannya, dia melihat pergerakan impor akan tetap tinggi pada 2019 seiring dengan kegiatan ekonomi. Selain itu, dia melihat kegiatan infrastruktur sebenarnya tidak banyak berkurang karena anggaran infrastruktur pemerintah pada tahun ini tetap tinggi, sekitar Rp400 triliun atau hampir sama dengan tahun 2018.
Dengan demikian, dia melihat kemungkinan defisit neraca perdagangan dapat terulang lagi pada 2019. David mengatakan solusi cepat dari permasalahan ini adalah mengurangi impor. Namun, langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati, melihat ketergantungan industri terhadap impor bahan baku dan barang modal yang cukup tinggi.
Dia mengkhawatirkan apresiasi rupiah yang terjadi sejak Desember hingga saat ini dapat membuat minat ekspor kembali bergairah jelang Pemilu dan bulan puasa. Oleh sebab itu, apresiasi rupiah ini juga harus tetap diwaspadai.
"Solusi jangka panjangnya tetap harus mendorong ekspor," tegas David. Pemerintah, yang mulai menyadari kondisi impor yang tetap kuat ini, bertekad untuk mengenjot ekspor pada tahun ini.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menuturkan pemerintah tengah menyiapkan sejumlah langkah, baik dalam jangka menengah panjang maupun jangka pendek untuk meningkatkan ekspor a.l. fasilitasi insentif perpajakan, penyederhanaan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor dan pemilihan komoditas ekspor unggulan.
Pemerintah telah memegang daftar sektor yang diharapkan menjadi pendorong ekspor a.l. industri kimia, industri tekstil dan Produk Tekstil (TPT), industri elektronik, dan industri otomotif dan industri makanan-minuman, industri perikanan, industri permesinan, peralatan kesehatan, furnitur, produk kayu dan kertas serta sepeda. Sektor di atas telah tercantum dalam Peta Jalan Revolusi Industri 4.0 yang digodok Kementerian Perindustrian.