Bisnis.com, JAKARTA – Perang dagang yang bereskalasi seiring penaikan tarif impor Amerika terhadap semua produk China menjadi 25% membuat negara berkembang kena getahnya. Hard commodity seperti besi baja, barang elektronik, garmen, dan produk hilir plastik diproyeksi akan merasakan dampak terbesar.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy memproyeksi pasar tekstil dan produk tekstil (TPT) akan dibanjiri oleh kain bahan baku pakaian jadi. Namun, menurutnya, hal tersebut dapat membantu memenuhi permintaan pakaian jadi.
Ernovian memaparkan impor kain jadi memang diperkirakan akan meningkat mengingat jumlah dan kapasitas produsen kain yang sedikit dan belum memiliki kapasitas produksi yang seimbang dengan permintaan industri pakaian. Selain itu, industri kain dibatasi produksinya dengan peraturan pengelolaan limbah B3 atau limbah berbahaya.
“Maka dari itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan API mengajukan program pengadaan mesin dyeing-printing-finishing untuk produsen kain jadi dan ini perlu investor. Semuanya untuk memenuhi kebutuhan kain jadi di dalam negeri,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (12/5/2019).
Di sisi lain, Ernovian mengemukakan pemerintah juga harus mengawasi pengelolaan limbah juga dari sisi bisnis industri. Adapun, Ernovian menilai salah satu yang menyebabkan volume impor naik pada tahun ini adalah harga benang polyester yang tinggi akibat adanya BMAD.
Ernovian menilai hal tersebut terjadi akibat dari tidak adanya harmonisasi antarsektor di industri TPT. Ernovian berujar masing-masing sektor di industri TPT jalan sendiri-sendiri untuk kepentingan sektoralnya selama 10 tahun.
“BMAD atas impor polyester staple fiber [PSF] ini sudah berjalan 8 tahun dan ada rencana mau diperpanjang. Jangan diperpanjang BMAD atas PSF, itu salah satu solusi,” ucapnya.